Pengelolaan sampah masih menjadi persoalan pelik yang dialami Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tanggal 21 Juli 2023 Pemerintah Provinsi DIY melalui surat Sekretariat DIY mengumumkan bahwa akan terjadi penutupan TPA Piyungan mulai tanggal 23 Juli 2023 hingga 5 September 2023. Keputusan ini menjadi sinyal bahwa pemerintah DIY belum mampu keluar dari kerumitan persoalan sampah di DIY.
Pada tahun 1995, TPA Piyungan telah mulai beroperasi dengan luas lahan mencapai 12 hektar dan mampu menampung hingga 2,7 juta meter kubik sampah. Lokasi TPA Piyungan bertindak sebagai tempat pembuangan akhir untuk sampah yang dihasilkan oleh warga dari tiga wilayah perkotaan, yaitu Kota Yogyakarta, wilayah perkotaan di Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Menurut data dari Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral, volume sampah yang di tangani pada tahun 2022 sebanyak 757,2 Ton/hari.
Penumpukan sampah di Jl Prawirotaman Satu (Sumber: Dokumentasi WALHI Yogyakarta)
Awalnya, pengelolaan sampah di TPA Piyungan menggunakan metode sanitary landfill. Metode ini hanya berlaku untuk sampah organik yang dapat terurai. Namun, saat ini, proses pengelolaan sampah di TPA Piyungan telah berubah menjadi control landfill karena tidak lagi memisahkan sampah organik dan anorganik. Perubahan metode dan volume timbulan sampah di TPA Piyungan justru meningkatkan resiko terjadinya bencana ekologis di wilayah sekitarnya.
Dari sisi kebijakan, ketentuan mengenai pengelolaan sampah DIY sudah tertuang dalam Perda DIY No. 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Secara normatif, kebijakan pengurangan dan penanganan sampah di DIY diatur dengan skema pembatasan timbulan sampah, pemanfaatan kembali, dan pendaurulangan sampah. Dalam skema ini, produsen sampah wajib menghasilkan produk dengan kemasan yang mudah terurai dan melakukan pengelolaan daur ulang hingga pemanfaatan kembali. Sayangnya ketentuan ini hanya pada tataran normatif saja, belum optimal dalam proses implementasi. Tidak adanya sanksi bagi pelanggar ketentuan ini menjadi isu beratnya menegakkan peraturan mengenai pengelolaan sampah di Yogyakarta. Selain sanksi yang tidak ada, persoalan yang menjadi catatan adalah tidak adanya daya tekan khusus untuk sektor bisnis yang memproduksi sampah non organik.
Usulan pemerintah DIY yang akan mengalihkan penimbunan sampah di wilayah lain hanya akan menyelesaikan persoalan tata kelola sampah dalam jangka pendek saja. Selain itu, WALHI Yogyakarta menilai usulan ini hanya memindahkan resiko ke wilayah lain dan akhirnya membuat wilayah lain tersebut menjadi sama rentannya. Perlu adanya langkah strategis dalam mencari jalan keluar persoalan ini. Peran sektor dan pemerintah memiliki peran krusial dalam mendorong pengurangan produksi sampah. Meskipun masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk secara aktif mengurangi produksi sampah mereka, kontribusi dari sektor bisnis dan pemerintah akan mempercepat pencapaian perbaikan lingkungan yang diinginkan.
Dari paparan singkat di atas, WALHI Yogyakarta mendorong Pemerintah DIY untuk:
Pertama, perkuat regulasi untuk menuntut tanggung jawab sektor bisnis dalam pengelolaan produksi sampahnya. Kebijakan extended producer responsibility (EPR) dapat digunakan pemerintah untuk memperkuat pengaturan ini. Dengan kebijakan ini, pemerintah mampu mendorong produsen khususnya sektor bisnis untuk mengambil langkah aktif dalam mengurangi pencemaran dan produsen juga diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap pengelolaan kembali limbah atau barang rusak melalui jaringan distribusi mereka. Kedua, penguatan regulasi dengan mengatur ketentuan sanksi pada kebijakan tata kelola sampah di DIY. Ketiga, segera sahkan regulasi yang mengatur secara spesifik sampah sekali pakai. Keempat, perkuat regulasi pemberian insentif kepada komunitas hingga desa yang secara mandiri telah melakukan pengelolaan sampahnya. Pemberian insentif ini sebagai reward untuk mereka yang telah melakukan upaya untuk mereduksi problem sampah. Kelima, meskipun dalam kondisi mendesak, Pemerintah DIY tetap perlu melakukan kajian dampak lingkungan dan sosial untuk rencana pemindahan TPA ke wilayah lain.