Warga Tolak Pembangunan TPSS Srimulyo di Piyungan
Written by walhijogja
23 September 2024
Selasa 2 Juli 2024 Pemerintah daerah Bantul dan perangkat kelurahan dari Srimulyo mengadakan sosialisasi pembangunan TPSS di kelurahan Srimulyo, kapanewon Piyungan. Sosialisasi tersebut diwarnai dengan aksi penolakan dari warga kalurahan Sitimulyo karena letak TPSS tersebut berada di perbatasan antara kelurahan Srimulyo dan Sitimulyo, sehingga terdapat potensi ancaman pada warga di kelurahan Sitimulyo. Warga yang menolak terutama berasal dari Padukuhan Banyakan II, Banyakan III, Pagergunung I dan Pagergunung II. Keempat padukuhan tersebut merupakan wilayah yang padukuhannya berada di perbatasan antara Sitimulyo dan Srimulyo, sehingga terdapat potensi pencemaran. Warga menyatakan akan siap melakukan demonstrasi yang lebih besar apabila pemerintah tetap melakukan pembangunan TPSS di wilayah tersebut.
Penolakan lantaran warga dari keempat padukuhan tersebut akan menerima dampaknya. Sawah-sawah warga dari keempat padukuhan di Sitimulyo terancam akan tercemar. TPSS (Tempat Pembuangan Sampah Sementara) ini akan dibangun di tanah seluas 3000 meter2 dengan status tanah Sultan Ground. Terdapat tiga titik yanga akan dijadikan opsi yaitu TPSS Kaligatuk, TPSS Puncak Bucu, dan TPSS Tumpang.
Pemerintah daerah akan menggunakan tanah tersebut untuk kegiatan pembuangan sampah dengan masa kontrak 6 bulan yang akan berakhir pada Desember 2024. Tidak ada penjelasan teknis terkait bagaimana model pengelolaan penguraian kandungan lindi, dan pengelolaan gas metan yang akan dilakukan. Tidak dijelaskan juga bahwa TPSS tersebut digunakan untuk pembuangan residu saja. Sehingga, kemungkinan sampah yang dibuang disitu merupakan sampah hasil pengangkutan dari hulu yang tidak diolah.
TPSS rencananya akan menggunakan geomembran dan talud untuk menahan air lindi. Namun pada praktiknya, geomembran dan talud bukan menjadi solusi yang bisa menahan aliran lindi. Warga telah membuktikan dengan melakukan pengecekan di TPA Transisi yang menggunakan geomembran.
Geomembran tersebut pada akhirnya tetap rusak dan akhirnya air lindi masih mencemari tanah dan air milik warga. Pembangunan TPA dan kebijakan yang serampangan dari kabupaten/kota di DIY tersebut menunjukkan bahwa pemerintah belum siap dengan adanya desentralisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa justru pemerintah provinsi DIY melepaskan tanggunjawabnya dari kegagalan pengelolan sampah. Pada undang-undang nomor 18 tahun 2008 TPA merupakan tanggungjawab dari pemerintah provinsi. Pasca munculnya kebijakan terkait desentralisasi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota masih sangat tergantung dengan TPA Piyungan. TPA Piyungan yang secara resmi telah ditutup pada praktiknya masih menjadi pilihan tempat untuk melakukan pembuangan sampah. Alih-alih membuat pengelolaan sampah di hulu agar tidak membebani TPA-TPA eksisting yang ada di Yogyakarta, pemerintah daerah justru semakin menggencarkan pembangunan TPA.
Dari berbagai serangkaian peristiwa yang menunjukkan adanya darurat sampah di Yogyakarta. WALHI Yogyakarta mendorong adanya solusi yang diselesaikan secara holistik. Dalam mencapai adanya solusi holistik diperlukan adanya; 1) Perancangan, pengembangan, dan evaluasi yang jelas terkait kebijakan dan implementasi proyek pengelolaan sampah dengan sudut pandang sistemik dengan memastikan keselarasan antara manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi; 2) sistem pengelolaan sampah harus dikuatkan dan diselaraskan dengan tujuan sistemik yang lebih besar, salah satunya adalah memastikan adanya layanan dasar publik seperti air bersih, kesehatan, energi, pendidikan, makanan dan kebutuhan mendasar lainnya untuk semua; 3) kebijakan terkait pengelolaan sampah harus menyediakan manfaat lebih jauh seperti udara bersih, penghidupan yang lebih baik, dan ketahanan pangan. Hal-hal tersebut harus dapat diakses seluruh warga atau komunitas, khususnya bagi mereka yang saat ini dirugikan oleh pencemaran.
Rekomendasi
- Perancangan, pengembangan, dan evaluasi yang jelas terkait kebijakan dan implementasi proyek pengelolaan sampah dengan sudut pandang sistemik dengan memastikan keselarasan antara manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi;
- Sistem pengelolaan sampah harus dikuatkan dan diselaraskan dengan tujuan sistemik yang lebih besar, salah satunya adalah memastikan adanya layanan dasar publik seperti air bersih, kesehatan, energi, pendidikan, makanan dan kebutuhan mendasar lainnya untuk semua;
- Kebijakan terkait pengelolaan sampah harus menyediakan manfaat lebih jauh seperti udara bersih, penghidupan yang lebih baik, dan ketahanan pangan. Hal-hal tersebut harus dapat diakses seluruh warga atau komunitas, khususnya bagi mereka yang saat ini dirugikan oleh pencemaran.
Narahubung:
Elki Setiyo. H (Kadiv Kampanye dan Advokasi WALHI Yogyakarta) +6289653178486
Trianto (Ketua Banyakan Bergerak) +628589246966
Related Articles
Related
Follow Us
Join
Subscribe For Updates
Dapatkan update berita terbaru seputar analisis, siaran pers, serta beberapa hasil publikasi lainnya dari kami.
WALHI YOGYAKARTA
- Beranda
- analisis
- tentang kami