
Krisis Bukan Peluang Bisnis
Conference of the Parties (COP) dibentuk untuk satu tujuan: mengatasi krisis iklim bersama dan menahan kenaikan suhu di bawah 1,5°C. Namun praktik yang keluar dari pertemuan ini sering membingkai krisis sebagai kesempatan profit, mulai dari perdagangan karbon hingga fasilitas investasi hutan tropis, sehingga solusi berubah menjadi pasar, bukan transformasi. Pertemuan terus dilangsungkan, sementara suhu bumi juga terus meningkat.






COP24 (2018)
Saat itu suhu rata-rata global diperkirakan ± 0,98 °C di atas level pra-industri (1850–1900). sumber⤴︎
Hasil:
- Katowice Climate Package, panduan teknis untuk pelaporan emisi, adaptasi, dan transparansi iklim.
- Standar pelaporan emisi yang lebih ketat agar semua negara bisa “mengukur” emisi dengan cara yang sama.
COP25 (2019)
Pada 2019, suhu global rata-rata sekitar 1,1 ± 0,1 °C di atas level pra-industri. sumber⤴︎
Hasil:
- Negosiasi pasar karbon (Pasal 6) yang gagal disepakati, ditunda.
- Pernyataan politik “Time for Action” yang menyerukan peningkatan ambisi, tetapi tanpa target pengurangan emisi baru yang mengikat.
COP26 (2021)
Suhu global di tahun 2021 diperkirakan sekitar 1,11 ± 0,13 °C di atas era pra-industri. sumber⤴︎
Hasil:
- Glasgow Climate Pact menyebut kebutuhan untuk “phase-down” batubara dan subsidi bahan bakar fosil.
- Komitmen negara untuk memperkuat NDC (janji pengurangan emisi) dan memperkuat transparansi iklim (laporan emisi, kerugian & dampak).
COP27 (2022)
Suhu rata-rata global 2022 diperkirakan ~1,15 °C di atas pra-industri. sumber⤴︎
Hasil:
- Pembentukan Loss & Damage Fund untuk membantu negara-negara yang terdampak kerugian iklim.
- Fokus adaptasi iklim ditingkatkan, dan pembicaraan pertanian tahan iklim (agrifood) diperkuat.
COP 28 (2023)
Tahun 2023 mencatat rekor suhu: 1,45 ± 0,12 °C di atas era pra-industri. sumber⤴︎
Hasil:
- Global Stocktake pertama Perjanjian Paris; menilai ulang komitmen negara.
- Dorongan percepatan transisi energi terbarukan, dan pengakuan pentingnya mengurangi ketergantungan pada fosil (meskipun “phase-out” fosil tidak disebut sangat tegas).
COP 29 (2024)
Perkiraan suhu global pada 2024 kemungkinan tinggi: rata-rata tahunan bisa mencapai 1,55 ± 0,13 °C di atas pra-industri.. sumber⤴︎
Hasil:
- Negosiasi New Collective Quantified Goal (NCQG) untuk pendanaan iklim jangka panjang.
- Penguatan mekanisme pasar karbon (Pasal 6) dan transparansi laporan iklim.
Laporan WALHI mengungkap bahwa 26,68 juta hektar (25,6%) hutan Indonesia terancam izin industri ekstraktif. Jika dibuka untuk transisi energi, hal ini dapat melepaskan lebih dari 9 miliar ton CO2 (setara 25 tahun emisi sektor energi). Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional mengatakan “temuan ini memperlihatkan bahwa proyek-proyek transisi energi yang dijalankan saat ini, seperti kendaraan listrik, panas bumi, co-firing biomassa, dan bioenergi, justru mendorong deforestasi dalam skala besar”.


Laporan WALHI mengungkap bahwa 26,68 juta hektar (25,6%) hutan Indonesia terancam izin industri ekstraktif. Jika dibuka untuk transisi energi, hal ini dapat melepaskan lebih dari 9 miliar ton CO2 (setara 25 tahun emisi sektor energi). Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional mengatakan “temuan ini memperlihatkan bahwa proyek-proyek transisi energi yang dijalankan saat ini, seperti kendaraan listrik, panas bumi, co-firing biomassa, dan bioenergi, justru mendorong deforestasi dalam skala besar.

Gandar Mahojwala, Direktur WALHI Yogyakarta mengatakan “Dalam konteks COP30 yang menuntut akuntabilitas dan implementasi nyata, WALHI menyerukan agar Indonesia memperkuat pengakuan wilayah kelola rakyat sebagai langkah awal menuju transisi energi yang adil, demokratis, dan bebas dari solusi palsu”.
Simalakama Perdagangan Karbon
Bicara soal COP, Perdagangan karbon barangkali adalah topik yang cukup dekat dengan kondisi di Yogyakarta. Ide ini pertama kali diperkenalkan dan dilembagakan secara resmi melalui Protokol Kyoto (COP 3, Kyoto, Jepang, 1997). Protokol tersebut menetapkan tiga mekanisme pasar (mekanisme fleksibel) untuk membantu negara-negara mencapai target pengurangan emisi mereka. Salah satunya adalah Emissions Trading, fondasi dari skema perdagangan karbon yang kita kenal sekarang.

Namun, aturan dan kebijakan yang mengatur perdagangan karbon menyimpan banyak problem. Skema ini, secara tidak langsung, justru memberi kesempatan bagi negara atau perusahaan pencemar untuk terus menghasilkan emisi, selama mereka mampu membeli “kompensasinya”. Di sisi lain, skema perdagangan karbon kerap menjadikan ekosistem, sebagai komoditas yang eksklusif. Ekosistem dianggap layak dilestarikan jika ia menguntungkan, dan sering kali ekosistem tersebut harus dibuat benar-benar steril dari aktivitas manusia. Itu berarti masyarakat yang selama ini merawat wilayahnya justru bisa terusir. Sebuah simalakama.
Wilayah D.I. Yogyakarta memiliki “tabungan karbon” berupa kawasan karst Gunungsewu (KBAK). Regulasi perlindungannya memang sudah ada, yaitu melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 Tahun 2012 tentang KBAK. Akan tetapi, bukan berarti wilayah ini aman. Sudah beberapa kali muncul usulan untuk “mengurangi” kawasan KBAK demi kepentingan pariwisata. Narasinya untuk kesejahteraan, namun kasus pengusiran warga Sanglen adalah bukti nyata, alasannya bukan kesejahteraan, melainkan keuntungan. Pada akhirnya, kepentingan ekonomi lebih sering didahulukan. Selain itu, juga menunjukkan jika ekosistem yang “tidak menguntungkan” seolah tidak layak dilestarikan.
Semua ini selalu terjadi karena kurang dilibatkannya masyarakat. Akibatnya, kebijakan tidak pernah didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Keresahan inilah yang menjadi landasan bagi orang-orang muda di yogyakarta untuk bergerak.

Satu Benang Merah
Berangkat dari satu benang merah antara perundingan iklim (COP 30) di Belém, Brasil, dan pengesahan RKUHAP, yang mana keduanya sama-sama menyingkirkan partisipasi publik, relawan WALHI Yogyakarta (Shalink) bersama Aksi Kamisan menyerukan pengembalian kedaulatan kepada rakyat. Seruan ini dibawa melalui tagar #KembaliKeRakyat dan #KembaliKeAkar, serta #SemuaBisaKena sebagai pengingat bahwa siapa pun bisa menjadi korban: baik akibat aturan hukum yang serampangan maupun krisis iklim yang kian parah.







