Krisis Sosial-Ekologis Tidak Terbendung: WALHI Yogyakarta Membuka Layanan Aduan

Written by walhijogja

siaran pers

12 September 2024

Permasalahan krisis sosial-ekologi semakin tak terbendung lajunya karena bentuk-bentuk ekspansi pembangunan nasional, industri besar, buruknya tata kelola ruang dan seterusnya. Hal ini terjadi hampir seluruh wilayah kawasan advokasi WALHI Yogyakarta, misalnya maraknya pertambangan bahan galian golongan C di Daerah Aliran Sungai Progo telah mengakibatkan dampak terhadap ekosistem sungai dan masyarakat, yaitu: perubahan aliran sungai; erosi; degradasi air sungai; dan penurunan muka air tanah. Selain itu, ekspansi industri pariwisata modern yang identik dengan penetrasi modal menjadi penunjang krisis sosio-ekologis cukup masif dan melupakan tata kelola lingkungan.

Baca Juga: Posko Pengaduan Masalah Sampah

Industri pariwisata membutuhkan topangan dari sektor lainnya, terutama industri perhotelan dan laju pembangunan fisik lainnya. Peningkatan pembangunan di kawasan perkotaan sepanjang 2020 sampai dengan 2024 semakin tidak terbendung lajunya. Dampak nyata berada di daerah Miliran, akibat pembangunan hotel kemudian menghilangkan sumber air warga. Selain itu, berimbas pula terhadap minimnya ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. Padahal eksistensi ruang terbuka hijau memiliki fungsi penting sebagai serapan air tanah, penurunan emisi karbon, dan ruang untuk mengurangi polusi udara yang berada di Perkotaan. Kini, industri pariwasata juga tengah menghantui Kawasan Karst Gunungsewu.

 

 

 

 

Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunungsewu telah mengalami ancaman serius, antara lain: penambangan; deforestasi; pembangunan bisnis privat; dan pengurangan luasan KBAK. Kawasan Karst Gunungsewu memiliki total luasan sebesar 71.713 hektar dengan ragam fungsi.  Fungsi karst tidak hanya berhenti tentang sumber daya air, tetapi juga sebagai pengikat karbon atau yang dikenal dengan carbon capture dan carbon storage di atmosfer. Namun, fungsi dan potensi ini terancam pembangunan bisnis privat dan pengurangan KBAK. Pembangunan bisnis privat di KBAK Gunungsewu berupa perhotelan dan sektor pariwisata berskala besar yakni: Drini Park; Stone Valley by HeHa; dan Bekizart (sedang direncanakan) merupakan bentuk ancaman yang akan merubah kondisi geologi di kawasan KBAK Gunungsewu. Pengurangan KBAK Gunungsewu juga tengah gencar dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Gunungkidul dengan hanya menyisakan 37.018 hektar atau hanya 48,81% dari luasan saat ini. 

Bergeser ke kawasan Menoreh, dalam waktu dekat skema Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) akan berlangsung secara masif di kawasan ini. WALHI Yogyakarta melihat terdapat potensi pergesaran corak produksi, budaya, dan krisis sosial-ekologis. Pembangunan yang tengah berlangsung adalah bedah menoreh dan Borobudur Highland. Hal ini, sebenarnya telah dimulai semenjak Proyek Startegis Nasional (PSN) berupa pembangunan Bandara YIA (Yogyakarta International Airport) dan pembangunan Bendungan Bener yang berakibat pada perampasan ruang hidup di Desa Wadas.

Kawasan Pesisir kini tidak luput dari dampak negatif pariwisata akibat dari kebutungan barang dan jasa bagi wisatawan. Selain itu, dampak langsung yang dirasakan telah melibatkan pencemaran laut dan air tawar melalui pembuangan limbah tanpa pengolahan tertentu. Hal ini jelas akan mengancam kualitas ekosistem pesisir. 

Persoalan ancaman krisis sosial-ekologis di kawasan advokasi WALHI Yogyakarta, ternyata masih ditambah dengan problem sampah yang dari masa lampau hingga hari ini belum terselesaikan juga. Problem sampah tentu berkaitan dengan buruknya sistem tata kelola dari hulu ke hilir, kebijakan yang tidak komperhensif, dan ketiadaan perhatian pada sektor informal. Selama 30 tahun, warga sekitar TPA Piyungan telah merasakan dampak langsung terhadap kesehatan, pencemaran air, degradasi tanah dan polusi udara. Dampak langsung juga dirasakan oleh warga perkotaan karena timbulan sampah makin membesar dan tidak terkelola. Hal ini menjadi preseden buruk karena nihilnya keserius dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan sampah.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta secara konsisten terus berjuang untuk mewujudkan keadilan ekologis. Ruang dalam mewujudkan hal tersebut diejawantahkan dalam kerja-kerja advokasi lingkungan hidup dengan fokus pada krisis ekologis berbasis bioregion.  Basis bioregion ini menjadi strategi yang dapat mendorong keterlibatan lebih banyak orang. WALHI Yogyakarta memetakan setidaknya terdapat lima bioregion untuk melakukan advokasi lingkungan hidup, antara lain: Pegunungan Menoreh (Kabupaten Kulon Progo, Magelang, dan Purworejo); Gunung Merapi (Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten termasuk Daerah Aliran Sungai); Pesisir; Perkotaan; dan Karst Gunungsewu (Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan). Berangkat dari seluruh persoalan lingkungan hidup tersebut, maka penting untuk seluruh masyarakat sipil saling bekerjasama demi keberlangsungan hidup yang lebih baik, utamanya tentang lingkungan hidup dan untuk mewujudkan keadilan ekologis. Oleh karena itu, WALHI Yogyakarta membuka layanan pengaduan mengenai persoalan lingkungan hidup yang berada di wilayah kerja advokasi WALHI Yogyakarta.

Narahubung:

(Rizki Abiyoga) +6282242036172

Follow Us

Join

Subscribe For Updates 

Dapatkan update berita terbaru seputar analisis, siaran pers, serta beberapa hasil publikasi lainnya dari kami.

 

WALHI YOGYAKARTA
  • Beranda
  • analisis
  • tentang kami
Follow Us