(4/7/2023) Tanggal 5 Juni diperingati sebagai hari Lingkungan Hidup Sedunia yang merupakan momentum tepat untuk membicarakan problem krisis ekologi di Yogyakarta. Sebagian diantaranya adalah masalah pengelolaan sampah yang tak kunjung membaik, penggunaan energi kotor yang terus menerus, dan penurunan kualitas dan kuantitas air.
Kepasifan dan keaktifan manusia dalam merespon krisis ekologi ini akan menentukan jalan cerita ekosistem lingkungan hidup dan keberlangsungan kehidupan bumi dimasa mendatang. Menjawab tantangan tersebut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta menyelenggarakan Festival Lingkungan Hidup, sebuah festival rakyat dan pemuda di bulan Juni, bulan lingkungan hidup. Terdapat 11 rangkaian acara dalam satu bulan pada festival ini, dari rangkaian Talkshow, diskusi, lokakarya, pertemuan warga peduli lingkungan, dan pagelaran seni. Rangkaian acara yang terbuka untuk umum ini dihadiri lebih dari seribu orang dari seluruh lapisan masyarakat di Yogyakarta maupun luar kota. “Festival ini merupakan komitmen WALHI Yogyakarta untuk pengingat kepada semua orang khususnya pemuda bahwa kita semua harus ikut menyelamatkan lingkungan, karena selamatnya lingkungan adalah selamatnya masa depan.” Jelas Gandar Mahojwala, Direktur WALHI Yogyakarta.
Pembuka Festival Lingkungan Hidup: Peran Sastra dalam Pusaran Krisis Ekologi
WALHI Yogyakarta mengadakan talkshow dengan tema “Peran Sastra dalam Pusaran Krisis Ekologi”. Dalam agenda tersebut mengundang sastrawan Soesilo Toer. Talkshow yang diadakan pada (11/06) di JNM Bloc tersebut bertujuan untuk mencari terobosan dalam menyikapi berbagai isu lingkungan. WALHI menilai sastra dapat digunakan untuk melemparkan wacana terkait krisis ekologi melalu ekspresi dan bahasa yang ada dalam karya sastra.
WALHI Yogyakarta berpandangan bahwa sastra dipilih menjadi topik diskusi karena dapat menjadi ruang yang ekspresif, sehingga menarik perhatian berbagai kalangan, khususnya orang muda untuk lebih peka terhadap isu-isu lingkungan “Kita memilih sastra sebagai ruang untuk melemparkan wacana dalam berbicara krisis ekologi. Ekspresi keindahan sastra menjadi ruang yang nyaman untuk menumbuhkan teori-teori besar” jelas Dimas R. Perdana, Deputi Direktur WALHI Yogyakarta, dalam sambutannya pada acara yang diadakan di JNM Bloc tersebut.
Pada Talkshow tersebut Sosiloe Toer juga menyatakan bagaimana kondisi krisis ekologi yang terjadi di wilayahnya. Sebagai seorang sastrawan, ia tidak hanya menulis, melainkan mempunyai peran dalam menjaga kelestarian di Blora.
Sehari-hari Soesilo Toer mempunyai kegiatan yaitu mencari sampah yang masih bisa dimanfaatkan “Saya ini adalah rektor, ngorek barang kotor”, jelasnya dengan berkelakar. “Saya ini adalah garda terdepan, dalam menjaga lingkungan. Saya tidak peduli dengan tanggapan orang. Bagi saya memulung adalah cara untuk menciptakan nilai” paparnya.
Salah satu peserta, Naina Yuwono menjelaskan bahwa dirinya datang karena tertarik dengan tema talkshow.
“Sebagai mahasiswa sastra saya percaya, apa yang disampaikan pak Soes itu benar. Sastra mempunyai peran dalam merubah pandangan masyarakat terkait isu-isu ekologis kedepannya berharap bahwa akan ada diskusi serupa. Karena sastra merupakan langkah awal yang dapat memberi kesadaran kepada pemuda dan generasi penerus” Jelas Mahasiswa Sastra Inggris tersebut.
Penutup Festival Lingkungan Hidup: Lokakarya, Diskusi, Pementasan Teater, dan Musik dalam Satu Hari
Agenda yang diadakan di ADA SaRanG ini berjudul “Komunitas, Orang muda, Seni, dan Ekologi” pada (25/06). Menurut Deputi Walhi Yogyakarta dalam sambutannya menyampaikan “rangkaian acara Festival lingkungan hidup sengaja dikemas dengan menggaet seniman dan aktifis untuk menarik minat anak muda untuk berperan penting dalam pelestarian lingkungan.”
Dalam rangkaian kegiatan lokakarya yang diadakan dalam acara festival mengundang MENH Studio untuk mengajak para audiens untuk berkreasi mengubah material sampah plastik menjadi produk baru yang memiliki nilai fungi dan ekonomi.
Disamping kegiatan lokakarya kemudian para audience diajak untuk berdiskusi, rangkaian kegiatan diskusi diisi dengan pelaku seni kontemporer indonesia yaitu Arahmaiani atau yang biasa di sapa Yani. Dalam diskusi ia menjelaskan pengalamannya diantara gunung dan semesta “Untuk menciptakan lingkungan yang sehat diperlukan gerakan kolektif bersama dan konsisten dalam bentuk kesadaran tanggung jawab individu di dalam kebersamaan.”
Rangkaian kegiatan diskusi juga dilengkapi dari materi teman-teman Mahasiswa Pecinta Alam Majestic 55 UGM yang memaparkan hasil riset mereka kepada audience festival tentang konservasi berbasis kearifan lokal. Diskusi tersebut juga melibatkan Komunitas Perempuan Gambar yang menjadi wadah bagi orang muda untuk berkreasi di seni lukis. Setelah diskusi, peserta festival disuguhi dengan pementasan teater yang bercerita tentang peran masyarakat adat dengan keberlangsung lingkungan hidup. Festival ditutup dengan jamming bersama band Warga Setempat dan Jason Ranti. Akhir acara, peserta festival menulis komitmen, gagasan, dan opini mereka atas isu lingkungan di atas media dari plastik hasil daur ulang mereka. Sehingga, Festival Lingkungan Hidup ini menjadi langkah awal komitmen bersama WALHI dan masyarakat khususnya orang muda untuk bersama-sama mengawal dan mencari solusi isu lingkungan di Yogyakarta.
Tujuan WALHI Yogyakarta dalam Festival Lingkungan Hidup ini adalah:
- Terbukanya ruang konsolidasi gagasan anak muda menuju Indonesia yang berkeadilan secara sosial-ekologis
- Kampanye kepada publik terkait gagasan anak muda tentang krisis lingkungan
- Adanya gagasan untuk melakukan aksi-aksi nyata penyelamatan dan perlindungan sumber-sumber kehidupan.
Narahubung:
Elky Setiyo Hadi (WALHI Yogyakarta)
+6289653178486