Dua Babak dan Satu Ancaman Penggusuran Paksa: Warga Dikorbankan, Kraton & Pemdes Kemadang Jadi Pelayan Obelix

by | Jul 22, 2025 | Karst, Pesisir, Sanglen, Siaran Pers | 0 comments

Konflik di Pantai Sanglen merupakan suatu gambaran dari tindakan Kraton dan Pemerintah Desa Kemadang yang ahistoris dan sewenang-wenang. Konflik bermula dari klaim atas tanah melalui Sultan Ground dan lanjutnya adalah dua babak penggusuran paksa serta satu ancaman penggusuran paksa. Ini kemudian menempatkan Kraton dan Pemerintah Desa Kemadang sebagai agen utama penggusuran paksa dan semata-mata hanya demi kelancaran pembangunan Obelix oleh PT. Biru Bianti Indonesia.  

Babak Pertama, penggusuran paksa terjadi pada tahun 2022 bersamaan dengan keluarnya Serat Palilah No. 17.018/KHPP/Dulkangidah.VI/ALIP.1955.2022 tentang Pemberian Palilah Pemanfaatan Tanah Kasultanan. Dalam serat tertera pemberian izin pemanfaatan tanah kasultanan seluas 36.620 m2 kepada PT. Biru Bianti Indonesia. Tindakan penggusuran telah menggusur warga yang menjalankan pengelolaan lahan melalui pariwisata di Pantai Sanglen. Pada proses ini, warga yang sedang mencari kebutuhan hidup rumah tangganya didatangi satu persatu oleh pesuruh Kraton (disebut ‘Brimob’ oleh warga) dengan ancaman yang tidak main-main, yaitu hendak dipenjarakan jika tidak menandatangi persetujuan pembongkaran. Alat utama yang digunakan oleh agen Obelix ini yaitu, klaim adanya sultan ground. Mereka menuduh warga  yang beraktivitas di Pantai Sanglen  merupakan tindakan ilegal.  

Warga dituduh melakukan aktivitas ekonomi secara illegal. Mereka mengancam warga akan dipenjarakan apabila tidak segera membongkar warungnya. Ancaman penjara dan tuduhan tersebut membuat warga khawatir dan takut. Sehingga, warga dengan terpaksa menandatangi kesepakatan pembongkaran dan tidak beraktivitas kembali di Pantai Sanglen.  

Tanda tangan warga tersebut yang menjadi dalih Obelix bahwa mereka telah membuat kesepakatan dengan warga. Alih-alih mengakui adanya pemaksaan yang dapat dikategorikan kekerasan ini, justru agen-agen Obelix mengatakan bahwa warga telah bersepakat secara damai dan tanpa paksaan. Pihak Kraton dan Pemerintah Desa bahkan mengeclaim bahwa warga mengaku bersalah karena berjualan di Pantai Sanglen. Padahal, menurut hasil investigasi WALHI Yogyakarta tidak ada pengakuan tersebut dari warga. Sekalipun ada, tindakan tersebut bukan semata-mata keinginan warga melainkan karena ancaman dari apa yang disebut warga sebagai “Brimob”. 

Babak kedua dilakukan pada bulan Juli tahun 2024 ketika warga sedang terjepit ekonominya, kemudian berusaha melakukan aktivitas ekonomi mereka di Pantai Sanglen kembali demi memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Agen-agen dari Obelix kembali berulah menggunakan kekerasan melalui dua ancaman yang sama, yaitu dipenjarakan dan melangar hukum. Upaya kekerasan mereka serupa dengan gelombang pertama, mendatangi personal-personal yang mencari penghidupan di Pantai Sanglen secara acak. Warga memberikan keterangan bahwa kedatangan agen-agen Obelix ini membuat mereka merasa ketakutan dan terancam, sebagaimana dikatakan oleh Bu Parjiyati “Aku wong cilik mas, arep njawab opo wis bingung, diancem-ancem terus.” 

Pada babak kedua ini, seluruh warga mendapatkan ancaman yang sama. Warga mengatakan bahwa ketika dihampiri satu persatu, agen-agen Obelix yang disebut oleh warga sebagai “Brimob” tidak mengenal kata empati, mengingat memperlakukan kekerasan juga kepada orang tua dan perempuan. Warga diberikan tenggang waktu selama 7 (tujuh) hari untuk membongkar warung masing-masing sembari meminta tanda tangan pada selembar kertas pernyataan. Bilamana tidak dilakukan, maka akan dipenjarakan karena dituduh telah melakukan tindakan ilegal. Akhirnya, dengan keadaan tertekan karena penggunaan kekerasan oleh agen-agen Obelix ini, lantas warga menandatangi selembar kertas tersebut.  

Warga yang tergabung dalam Paguyuban Sanglen Berdaulat telah berupaya dengan baik dan sopan dengan melakukan audiensi. Namun, dalam forum audiensi pada bulan November 2024, Panitikismo justru mengatakan bahwa mereka telah memiliki kerjasama bisnis dengan Obelix (PT. Biru Bianti Indonesia) dan warga harus pergi dari Pantai Sanglen. Artinya, memang jelas Kraton sudah memiliki persekongkolan dengan investor dan sejak awal tidak memiliki keberpihakan terhadap warga hingga hari ini. Tidak berhenti di sana, mereka baru-baru ini mengancam untuk melakukan penggusuran paksa.  

Satu ancaman penggusuran paksa terjadi pada saat terdapat undangan mediasi yang sangat tidak partisipatif baru baru ini, yakni pada tanggal 25 Juni 2025. Pertimbangan Paguyuban untuk tidak menghadiri undangan mediasi sangat jelas, antara lain: tidak ada penghormatan kepada warga; hilangnya partisipasi bermakna dari warga; dan penghilangan hak untuk didampingi oleh kuasa hukum serta pendamping. Atas dasar itu, warga kemudian mengirimkan surat balasan dengan menjelaskan pertimbangan-pertimbangan tersebut. Alih-alih mengakui kesalahannya, Kraton melalui Panitikismo membalas dengan arogan dan terang benderang mengatakan “jika warga tidak mau hadir, maka akan dilakukan penggusuran paksa demi berjalannya proyek Obelix milik PT. Biru Bianti Indonesia”.  

Oleh karena itu, berangkat dari tindakan dua babak penggusuran paksa dan satu ancaman penggusuran paksa tidak perlu lagi ragu mengatakan bahwa Kraton dan Pemerintah Desa Kemadang telah bertindak sewenang-wenang, berpihak terhadap investor, dan melakukan kekerasan terhadap warga.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *