Perampasan ruang hidup seolah menjadi peristiwa yang tiada hentinya merundung kehidupan masyarakat. Tidak sulit menemukan berita tentang penggusuran lahan pertanian atau pemukiman masyarakat di berbagai kanal media, entah oleh proyek pertambangan, pembangunan kawasan industri, maupun proyek infrastruktur. Barangkali yang masih segar dalam ingatan ialah konflik yang dipicu oleh rencana proyek tambang batuan andesit di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kepentingan seperti apa yang membingkai proyek pembangunan yang seringkali memicu penggusuran ruang hidup, dan menautkannya dengan konteks rencana tambang andesit di Wadas.
Peleburan kepentingan pejabat-pebisnis dalam program pembangunan
Pasca terpilih sebagai Presiden RI 2019-2024, Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Umum MPR RI yang berisi lima prioritas kerja dalam lima tahun masa pemerintahannya bersama Ma’ruf Amin, yakni (1) pembangunan sumber daya manusia (SDM), (2) melanjutkan pembangunan infrastruktur, (3) menyederhanakan, memotong, dan memangkas kendala regulasi, (4) menyederhanakan birokrasi, dan (5) transformasi ekonomi.
Prioritas-prioritas kerja tersebut kemudian terejawantahkan dengan disahkannya Omnibus Law Undang Undang (UU) Cipta Kerja. UU ini sebagai alat untuk melakukan penyederhanaan regulasi, di mana investasi menjadi mantra dalam prioritas kerja pemerintah. Dalam Naskah Akademik UU ini, partisipasi sosial dapat dicap sebagai salah satu bentuk penghambat laju investasi (WALHI, 2021). Berbagai pasal yang menjamin pemenuhan hak atas informasi, hak atas partisipasi, maupun hak atas akses keadilan juga dikebiri dan dilemahkan.
Tidak berhenti sampai di situ. Sejak awal penyusunannya, mengacu pada Tinjaun Lingkungan Hidup bertajuk Negara Gagal Atasi Krisis? yang disusun oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) (2021: 8), sulit untuk membayangkan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja mengandung niat untuk melibatkan berbagai kelompok penerima dampak guna mendistribusikan informasi yang memadai maupun dilibatkan dalam proses secara bermakna. Proses penyusunan UU tersebut justru hanya melibatkan kelompok penerima keuntungan terbesar, seperti pelaku bisnis, investor, serta para elit politik yang sekaligus juga pebisnis.
Mundur sedikit ke belakang. Hasil Pemilu 2019 dapat dilihat sebagai momentum pesta kemenangan kelompok bisnis yang melebur ke dalam politik kekuasaan. Indikasi atas hal ini dapat dilihat dari komposisi pembagian jabatan, baik di parlemen maupun istana kepresidenan. Lebih dari 30% kabinet yang dibawahi oleh Jokowi-Ma’ruf berlatar belakang pelaku bisnis, terutama di sektor sumber daya alam (WALHI, 2021: 14). Begitu pula jajaran menteri yang memiliki latar belakang komisaris maupun petinggi korporasi. Sementara, menurut laporan Yayasan Auriga Nusantara bersama Tempo (dalam WALHI, 2021), komposisi parlemen yang terdiri dari 262 orang atau 45,5% dari 575 anggota DPR merupakan kelompok yang memiliki afiliasi dengan korporasi. Tidak hanya di pemerintahan pusat, hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah 2020 juga lebih dari setengahnya berisi politisi berlatar belakang pengusaha.
Perkawinan kekuatan modal dengan politik kekuasaan mendorong roda pemerintahan bergerak selaras dengan kepentingan ekonomi neoliberal—sebuah praktik-gagasan ekonomi-politik yang merujuk pada pandangan neoliberalisme. Neoliberalisme, dalam pandangan David Harvey (2009: 3-4), merupakan sebuah paham yang meletakan fungsi negara semata untuk memastikan dan menciptakan struktur institusional yang seirama dengan praktik-praktik yang mendukung kepentingan kapitalis (pemilik modal) dengan membangun perangkat pertahanan, keamanan, serta hukum—bahkan melalui praktik kekerasan bila diperlukan—sehingga hak kepemilikan privat dan fungsi pasar dapat beroperasi. Dengan kata lain, neoliberalisme bergerak dengan merombak secara radikal hubungan-hubungan antara pasar, negara, dan masyarakat sipil (Heynen, dkk., 2007: 3-5).
Kepentingan ekonomi neoliberal juga dapat kita saksikan dalam wajah Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai bentuk pembangunan infrastruktur yang digadang-gadang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi nasional. PSN merupakan istilah yang diintrodusir oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Istilah ini diambil sebagai bungkus berbeda dari Master Plan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah dirumuskan pada rezim Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Tujuan pelaksanaan PSN termaktub di dalam Perpres No. 109 Tahun 2011, Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa PSN adalah “proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.”
Dalam perjalanannya, Perpres No. 3 Tahun 2016 kemudian diperbaharui menjadi Perpres No. 58 Tahun 2017, kemudian diperbaharui menjadi Perpres No. 56 Tahun 2018, dan diperbaharui lagi menjadi Perpres No. 109 Tahun 2020. Perpres No. 109 Tahun 2020, menetapkan 201 proyek dan 10 program yang meliputi proyek pembangunan dan pengembangan infrastruktur jaringan transportasi, energi, pangan, hingga kawasan strategis nasional (Ekon.go.id, 2020).
Dasar filosofis pelaksanaan PSN dibentuk oleh pandangan bahwa kelangkaan infrastruktur penopang roda ekonomi merupakan penghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itu, tak heran bila PSN diberi payung hukum agar ratusan proyek infrastruktur, seperti jaringan transportasi dan komunikasi, energi, pariwisata, pertanian, dan kelautan, dapat dilaksanakan sebagai stimulus jalannya roda ekonomi neoliberal. Pada tataran pembiayaan, Perpres No. 109 Tahun 2020 telah menyebut bahwa anggaran yang digelontorkan untuk menjalankan proyek ini sebesar Rp4.809,7 triliun yang diserap dari APBN, APBD, BUMN, dan Swasta (Ekon.go.id, 2020).
Selain itu, PSN diproyeksikan sebagai instrumen untuk memudahkan arus penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri. Bagi pemerintah, jaminan kemudahan investasi bagi para pemodal akan menghasilkan tetesan ke bawah (trickle down effect) bagi rakyat secara luas. Inilah yang dimaksud pemerintah sebagai upaya untuk mengerek pertumbuhan ekonomi.
“Tetesan ke bawah” yang diharapkan pemerintah tercermin dalam Perpres No. 109 Tahun 2020, Pasal 24A, BAB VA tentang lapangan kerja yang berbunyi: “Dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional, menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/walikota selaku Penanggung Jawab Proyek Strategis Nasional mengutamakan penciptaan lapangan kerja secara luas dan intensif.” Frasa “mengutamakan penciptaan lapangan kerja secara luas dan intensif” dianggap sebagai titik terang mewujudkan harapan kesejahteraan yang diinginkan pemerintah.
Alih-alih terwujud, tujuan luhur pemerintah tersebut malah berbanding terbalik dalam praktiknya. Catatan akhir tahun 2020 Konsorsium Pembaharuan Agraria bertajuk Laporan Konflik Agraria di Masa Pandemi dan Krisis Ekonomi justru menampilkan wajah kelam di balik pelaksanaan “mega-proyek” PSN ini. KPA (2020) mencatat, sepanjang tahun 2020, telah terjadi 241 letusan konflik agraria yang tersebar di 359 kampung/desa dan melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar. Sementara, dalam rentang sepuluh tahun terakhir (2010-2020), letusan konflik agraria mengalami peningkatan, dimana eskalasi konflik tertinggi terjadi pada tahun 2017 yang mencapai angka 659 konflik.
Lebih jauh, KPA (2020) menyebut, PSN (termasuk Kawasan Strategis Pariwisata Nasional/KSPN) menjadi penyumbang terjadinya konflik agraria di sejumlah wilayah dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, proses pengadaaan tanah untuk menopang secara langsung maupun tidak langsung kebutuhan proyek-proyek PSN seringkali menjadi pemicu hadirnya perampasan terhadap ruang hidup rakyat. Di samping itu, kriminalisasi terhadap kelompok masyarakat yang memperjuangkan ruang hidupnya dari gerusan proyek-proyek PSN maupun korporasi menambah kelamnya konflik perampasan ruang di negeri ini.
Tambang andesit di Wadas: Bayang-bayang perampasan ruang hidup atas nama pembangunan
Satu di antara ratusan konflik yang meletus proyek pembangunan terjadi di Wadas. Dalam SK Gubernur Jateng 590/41 Tahun 2018 yang diperbaharui menjadi SK Gubernur Jateng No. 539/29 Tahun 2020, Desa Wadas ditetapkan sebagai lokasi objek pengadaan tanah untuk mendukung PSN Bendungan Bener. Merujuk pada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Andal) Bendungan Bener (2018), Purworejo, proyek bendungan tersebut membutuhkan material quarry (tanah dan batuan andesit) sebanyak 15,5 juta meter kubik dengan kedalaman 40 meter. Proyek penambangan di Wadas akan memakan lahan sekira 145 ha dan pembangunan jalan akses quarry sepanjang 12-an km. Salah satu metode yang digunakan untuk menambang perbukitan Wadas adalah dengan blasting (peledakan) menggunakan 5.300 ton dinamit yang akan dilakukan selama 30 bulan.
Rencananya, Bendungan Bener akan dibangun setinggi 169 meter dan digadang-gadang akan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia, dan kedua di dunia. Proyek bendungan senilai 2,060 triliun rupiah yang diserap dari APBN ini diproyeksikan akan memiliki kapasitas sebesar 100.94 m3 dan akan menjadi penyuplai air bagi lahan pertanian (13.589 ha), pemenuhan air baku (1.500 liter/detik), pembangkit listrik (6 MW), mengurangi debit banjir bagi wilayah Purworejo, Kebumen, dan Kulonprogo (Kppip.go.id, 2016).
Namun, porsi terbanyak (700 liter/detik) suplai air baku dari total 1.500 liter/detik justru akan dialirkan ke Kulon Progo. Sementara 300 liter dari total suplai air baku tersebut dialirkan ke Kebumen dan 500 liter dialirkan ke Purworejo. Di samping itu, dari total suplai air baku yang dialirkan ke Kulonprogo, 200 liter/detik akan dikhususkan untuk mengaliri Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) (Projectmultatuli.org, 2021). Bandara YIA juga merupakan sebuah proyek PSN yang didesain menjadi kawasan kota bandara (aerotropolis) dengan luasan lebih dari 7000 hektar. Bandara YIA sendiri dibangun melalui proses “penggusuran paksa” para pengguna lahan pantai pesisir selatan yang subur (Projectmultatuli.org, 2021).
Dalam siaran pers bertajuk “Warga Wadas Gugat Ganjar Pranowo atas Kebijakan yang Merugikan” yang diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, rencana proyek penambangan tersebut disinyalir cacat prosedural (Lbhyogyakarta.org, 2021). Andal proyek penambangan di Desa Wadas dijadikan satu dengan proyek Bendungan Bener. Merujuk pada siaran pers itu, proyek pertambangan yang melebihi 500 ribu meter kubik seharusnya memiliki Andal sendiri.
Dalam rangkaian proses penyusunan dokumen Andal dan sosialisasi pengadaan lahan untuk proyek penambangan batuan andesit, warga Wadas tidak mendapatkan ruang partisipasi untuk menentukan nasib hidup mereka (Lbhyogyakarta.org, 2021). Meskipun sosialisasi pernah dilakukan oleh pihak pemrakarsa pada tahun 2018, namun isi dari acara tersebut bukan menyampaikan tentang proyek penambangan dan potensi kerusakan yang akan terjadi di Wadas, melainkan keseluruhan informasi yang disampaikan hanya seputar rancangan dan proyeksi Bendungan Bener, yang notabene merupakan proyek yang lokasinya tidak berada di Wadas.
Sejatinya, penolakan warga atas rencana penambangan itu terjadi sejak pertama kali informasi penambangan beredar di Wadas, sekira tahun 2015. Salah satu bentuk penolakan yang dilakukan warga ialah membentuk organisasi bernama Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa). Organisasi ini dijadikan sebagai wadah untuk mempertahankan ruang hidup mereka dari ancaman kerusakan yang bakal diakibatkan oleh penambangan batuan andesit di desa itu.
Bagi warga Wadas, penambangan batuan andesit sebagai penopang PSN Bendungan Bener dapat menimbulkan ancaman kerusakan lingkungan, sosial, ekonomi, sejarah, serta budaya yang telah turun temurun menjadi bagian dari kehidupan mereka. Pandangan ini didorong oleh keyakinan bahwa proyek penambangan akan memicu hilangnya mata pencaharian mereka, dimana 99% warganya menggantungkan hidup dari hasil pertanian dan perkebunan di desa tersebut (Projectmultatuli.org, 2021). Belum lagi, proyek penambangan diyakini akan memicu hilangnya 27 sumber mata air yang digunakan warga untuk mengaliri lahan pertanian dan menopang kebutuhan rumah tangga. Tidak hanya manusia, flora-fauna yang ada di Wadas turut kehilangan habitatnya jika penambangan terjadi. Singkatnya, kondisi alam (manusia dan lingkungan) di Wadas, secara turun temurun, telah membentuk kehidupan sosial, ekonomi, maupun kebudayaan mereka. Hilangnya ruang hidup di Wadas juga berarti hilangnya sejarah dan kebudayaan yang telah mengakar dalam jejaring kehidupan warganya.
Sebagai sebuah perjuangan, penolakan yang telah dilakukan warga untuk mempertahankan ruang hidup justru disambut dengan tindakan kekerasan, kriminalisasi, dan teror. Pada 23 April 2021, ketika warga Wadas melancarkan aksi demonstrasi di depan Balai Desa Wadas dengan melakukan mujahadah (doa bersama) sebagai cara untuk memprotes acara sosialisasi pengukuran dan pematokan lahan dalam rangkaian proses pengadaan lahan yang dilakukan oleh pihak Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO), aparat kepolisian dan TNI. Alih-alih melakukan pengayoman, aparat kepolisian dan TNI malah melakukan tindakan kekerasan dan menembakkan gas air mata ke arah warga. Akibat kekerasan itu, 12 orang mengalami luka-luka dan 12 (termasuk dua orang pendamping hukum warga) lainnya ditangkap aparat kepolisian dengan tuduhan provokator.
Peristiwa kelam yang menimpa warga Wadas kembali terjadi pada 8 Februari 2022. Ribuan aparat kepolisian bersenjata lengkap, dan banyak di antaranya tidak mengenakan seragam, menyerbu Wadas dengan alasan mengamankan proses pengukuran lahan bakal tambang andesit. Aparat kepolisian menyisir rumah-rumah, mengejar, menyita telepon genggam, memukul, menendang, menjambak puluhan warga. Lebih dari 60 warga serta jaringan solidaritas yang mendukung warga dan pendamping hukum warga dari LBH Yogyakarta ditangkap dengan tuduhan melawan aparat dan menghalangi proses pengukuran lahan. Padahal, saat peristiwa itu terjadi, warga sedang melakukan mujahadah di salah satu masjid yang terletak di Dusun Krajan.
Tidak ada perlawanan yang dilakukan warga sebagaimana yang dituduhkan oleh aparat kepolisian. Peristiwa pengepungan itu berlangsung selama hampir satu minggu. Beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi, banyak warga yang memilih untuk berdiam diri di dalam rumah, sebab aparat kepolisian dan tentara masih berseliweran di desa mereka. Wadas berubah menjadi layaknya kota hantu, sunyi dari aktivitas sosial yang biasanya warga lakukan; hewan ternak dan lahan pertanian yang menjadi topangan ekonomi keluarga pun terabaikan selama beberapa minggu setelah peristiwa kelam itu.
Wadas menjadi salah satu wajah dari model pembangunan yang menghamba pada pertumbuhan ekonomi. Komposisi parlemen yang diisi oleh pejabat-pebisnis besar menjadi wajah dari leburnya kekuasaan modal dan politik. Apa yang dimaksud sebagai pertumbuhan ekonomi nasional dengan skema tetesan ke bawah, alih-alih sebagai instrumen untuk mendatangkan kesejahteraan, justru dapat dilihat sebagai cara meraup keuntungan para pebisnis besar, yang banyak di antaranya dibungkus dengan pakaian pejabat. Di bawah payung negara neoliberal, sulit untuk memisahkan antara kepentingan bisnis dengan kepentingan publik. Untuk memuluskan niat tersebut, perangkat institusional seperti hukum dan aparatus militer dikerahkan sebagai benteng pertahanan bagi kepentingan para elit politik dan pebisnis. Sementara itu, pola kebijakan pemerintah melalui proyek-proyek infrastruktur justru semakin memperkeruh persoalan yang dihadapi oleh rakyat.
Sumber Pustaka
Ekon.go.id. (2020). “Pemerintah Terbitkan Pepres 109/2020 untuk Mendorong Percepatan Pelaksanana Proyek Strategis Nasional (PSN)”. URL: https://ekon.go.id/publikasi/detail/673/pemerintah-terbitkan-perpres-1092020-untuk-mendorong-percepatan-pelaksanaan-proyek-strategis-nasional-psn [diakses 1 Juli 2022]
Harvey, D. (2009). Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta: Resist Book.
Heynen, N., dkk. (2007). Introduction: False Promises. Dalam N. Heynen, J. McCarthy, S. Prudham, & P. Robbins (Ed.), Neoliberal Environments: False Promises and Unnatural Consequences. London dan New York: Routledge.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2018). Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Andal): Rencana Kegiatan Pembangunan Bendungan Bener Di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
KPA. (2020). Laporan Konflik Agraria di Masa Pandemi dan Krisis Ekonomi: Pandemi Covid-19 dan Perampasan Tanah Berskala Besar. Jakarta: KPA.
Kppip.go.id, (2016). “Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener”, URL: https://kppip.go.id/proyek-strategis-nasional/p-proyek-bendungan-dan-jaringan-irigasi/bendungan-bener/ [diakses 1 Juli 2022]
Lbhyogyakarta.org. (2021). “Siaran Pers: Warga Wadas Gugat Ganjar Pranowo atas Kebijakan yang Merugikan”. URL: https://lbhyogyakarta.org/2021/07/23/warga-wadas-gugat-ganjar-pranowo-atas-kebijakan-yang-merugikan/ [diakses 2 Juli 2022].
Projectmultatuli.org. (2021). “Tanah Surga’ Wadas Dijadikan Tambang: ‘Mengapa Pemerintah Menindas Petani?” URL: https://projectmultatuli.org/tanah-surga-wadas-dijadikan-tambang-mengapa-pemerintah-menindas-petani/ [diakses 24 Juli 2022]
WALHI. (2021). Tinjauan Lingkungan Hidup 2021: Negara Gagal Atasi Krisis? Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI.
Bayu Maulana