Pada bulan Februari hingga Maret 2021, sebanyak 18 warga Padukuhan Jomboran, Minggir, Sleman, D.I. Yogyakarta, mendapat surat panggilan dari Kepolisian (Polres Sleman) untuk memberikan keterangan mengenai penolakan warga atas aktivitas pertambangan di Sungai Progo, Minggir, Sleman. Selanjutnya pada tanggal 7 Oktober 2021, pihak kepolisian telah menaikkan kasus tersebut menjadi proses penyidikan. Pemanggilan tersebut didasari oleh laporan dari pihak penambang pasca aksi penolakan masyarakat terhadap aktivitas pertambangan yang diselenggarakan pada bulan Desember 2020 di Sungai Progo.
Pramudya Afgani, selaku pihak penambang, melaporkan warga Jomboran atas dugaan pelanggaran Pasal 170, 160 dan 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Pasal 162 UU Minerba. Padahal, aksi penolakan warga terhadap aktivitas penambangan di Sungai Progo merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat untuk menjaga kelestarian sungai tersebut dari ancaman kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Kami menilai bahwa upaya pihak penambang merupakan bentuk kriminalisasi terhadap warga yang bertujuan untuk menghentikan partisipasi warga dalam menjaga kelestarian Sungai Progo.
Konflik pertambangan antara masyarakat dengan pihak penambang di Sungai Progo telah terjadi sejak tahun 2017. Konflik itu dipicu oleh aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. Citra Mataram Konstruksi (PT. CMK) dan Pramudya Afgani di Sungai Progo. Padahal, masyarakat telah menolak aktivitas pertambangan karena akan berdampak buruk terhadap lingkungan. Penolakan terhadap aktivitas pertambangan tidak hanya dilakukan di Jomboran saja, melainkan juga dilakukan oleh masyarakat di Padukuhan Wiyu dan Pundak Wetan, Kulon Progo, yang secara lokasi berbatasan langsung dengan Padukuhan Jomboran.
Hingga saat ini, masyarakat Jomboran, Wiyu, dan Pundak Wetan yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) tetap menolak aktivitas pertambangan. Sebab, aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh Pramudya Afgani dan PT. CMK telah melanggar Peraturan Perundang-undangan, seperti aktivitas pertambangan dilakukan hingga malam hari, pengambilan material menggunakan mesin sedot, tonase truk pengangkut yang melebihi batas, hingga tidak adanya sosialisasi kepada masyarakat dalam proses penerbitan izin. Di samping itu, aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh Pramudya Afgani dan PT. CMK telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, seperti penggerusan bantaran sungai dan penurunan muka air tanah.
Berdasarkan hal tersebut, Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) yang terdiri dari masyarakat padukuhan Jomboran, Wiyu, dan Pundak Wetan menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk menghentikan upaya kriminalisasi terhadap warga Jomboran yang sedang mempertahankan lingkungan hidup
- Mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menghentikan aktivitas pertambangan yang ada di sungai Progo
- Menuntut Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Untuk mencabut Surat Izin Pertambangan atas nama Pramudya Afgani dan PT. CMK di sungai Progo.
- Menuntut Pramudya Afgani dan PT. CMK untuk memulihkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat aktifitas pertambangan
Yogyakarta, 10 Oktober 2021
Paguyuban Masyarakat Kali Progo
Narahubung: 083196626922 (Tandi)