Perubahan iklim dan kelestarian keragaman hayati menjadi isu besar di dunia saat ini. Dalam jangka waktu yang panjang terjadinya perubahan iklim akan mengakibatkan terjadinya kekeringan, pencemaran air, polusi udara, pencemaran air, dan banjir. Salah satu persoalan yang dapat mengakibatkan terjadinya bencana ekologi adalah penggunaan bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan energi kotor mengakibatkan terjadinya perubahan iklim semakin cepat. IPCC menyebutkan bahwa suhu bumi telah meningkat, dan salah satu faktornya adalah penggunaan energi kotor. langkah yang dapat dilakukan adalah melakukan transisi energi. Transisi energi adalah skema perubahan dari energi kotor seperti batu bara dan minyak bumi dan menggantikannya dengan energi yang lebih ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Apabila ditarik pada konteks lokal, Yogyakarta merupakan kota yang menyumbang terjadinya perubahan iklim, hingga dapat menimbulkan terjadinya bencana ekologi.
Yogyakarta merupakan salah satu kota yang dijadikan wilayah proyek strategis nasional (PSN). Tujuan dari proyek tersebut adalah mendukung infrastruktur dalam bidang pariwisata. Namun, dalam praktiknya pembangunan yang masif di Yogyakarta tanpa mengindahkan dampak lingkungannya justru menambah berbagai persoalan yang dapat mengakibatkan bencana ekologi. Bencana ekologis yang dapat mengancam Yogyakarta, diantaranya adalah permasalahan sampah yang menumpuk di TPST Piyungan akibat buruknya tata kelola sampah. Kedua adalah permasalahan karst di Gunung Sewu dengan adanya pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS). Ketiga adalah persoalan tata kelola air yang tidak berkeadilan akibat maraknya pembangunan hotel yang mengeringkan sumur warga. Bencana ekologis lain yang terjadi di Yogyakarta adalah terjadinya pencemaran air. Kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Yogyakarta. Pertambangan yang semakin masif seperti yang terjadi di Wadas dan Jomboran.
YOGYAKARTA DIHIMPIT BENCANA EKOLOGI
Tata Kelola Sampah yang Buruk
Menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) kota Yogyakarta menyebut bahwa terjadi kenaikan produksi sampah harian. Peningkatan tersebut terjadi antara 5 sampai 10 ton perhari. Data tersebut menjadi kontradiktif. Berdasarkan data neraca Jakstrada DIY, timbulan sampah di DIY Pada tahun 2021 sebesar 789.041,74 ton/tahun atau 2.162,76 ton/hari. Jumlah timbunan sampah tersebut sama dengan jumlah produksi sampah per kapita 0,6 kg/hari. Produksi sampah tersebut tidak didukung dengan tata kelola sampah yang sesuai. Sehingga warga diharuskan mengelola sampahnya sendiri. Sepanjang tahun 2022 warga yang tinggal di dekat Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan diblokade. Aksi tersebut dilakukan karena TPST Piyungan telah mengalami overcapacity. Sehingga berdampak pada bau sampah yang menyengat (polusi udara). Selain itu sampah-sampah tersebut juga mengakibatkan sumber mata air yang digunakan oleh warga tercemar.
Pencemaran Air
Pencemaran air yang terjadi di Yogyakarta telah lama menjadi temuan. Sejak tahun 2015, Survei Kualitas Air (SKA) Yogyakarta yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik temah menemukan bahwa 67,1% rumah tangga memiliki air siap minum yang terkontaminasi bakteri e-coli. SKA telah memberi peringatan bahwa wilayah perkotaan terkontaminasi lebih tinggi dibanding dengan wilayah pedesaan. Data RJPMD DIY tahun 2022-2027 menentukan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) DIY pada periode 2018-2022 berkisar pada angka 60,05-61,60. Nilai IKLH DIY pada bulan Oktober tahun 2022 menurun menjadi sebesar 59,43-59,92. Kondisi IKLH DIY saat ini berada di bawah nilai standar IKLH nasional yaitu 70,27. Nilai IKLH DIY masuk dalam kategori kurang baik. Komponen pembentukan IKLH dengan kisaran nilai paling rendah yaitu Indeks Kualitas Air (IKA). nilai IKA periode 2018-2022 pada kategori kurang dengan tren mengalami penurunan dari 40,35 menjadi 32,14. Penurunan indeks kualitas air ini disebabkan tingginya angka coli total dan coli tinja dari aktivitas domestik dan pertanian, serta aktivitas industri.
Permasalahan Karst di Gunungsewu
Bencana ekologis yang terjadi di Yogyakarta tidak hanya terjadi di kota melainkan di berbagai wilayah di Yogyakarta. Pembangunan Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) di wilayah Gunungsewu, Gunungkidul menjadi salah satu aktvitas yang mengancam keberlanjutan alam. Karst Gunungsewu yang berada di gunungkidul mempunyai luas sekitar 807 km2 atau 53% dari luas total kabupaten yang mencapai 1.483. Bentangan karst di Gunungsewu terancam akibat pembukaan Jalur Lintas Selatan (JJLS) yang dibangun dengan cara membedah kawasan karst ini. Karst merupakan salah satu sumber mata air. Apabila karst rusak, maka dapat berdampak pada ketersediaan air. Gunung Kidul dikenal sebagai wilayah yang sulit dalam mengakses air bersih. Apabila karst di Gunungsewu dipapras terdapat resikokekeringan di wilayah tersebut. Wilayah Gunung Kidul, Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu yang menjadi kawasan lindung air justru akan dikurang demi kebutuhan pariwisata.
Persoalan tata kelola air
Pembangunan hotel yang masif di Yogyakarta, juga menjadi persoalan pada tata kelola air yang tidak berkeadilan. Bosman Batubara (2022) menjelaskan salah satu dampak krisis ekologi yang ditimbulkan sektor pariwisata berupa mengeringnya sumur-sumur warga di beberapa wilayah. Salah satunya adalah kasus kekeringan sumur-sumur dangkal di Yogyakarta. Kasus kekeringan sumur dangkal. Pendangkalan sumur air tanah disebabkan oleh ekstraksi air tanah yang dilakukan oleh industri perhotelan. Industri perhotelan memasuk kebutuhan kamar-kamar hotel yang menggunakan sumur bor air tanah daripada menggunakan jasa PDAM. Berbeda dengan hotel, warga di tiga daerah menggunakan sumur air tanah dangkal untuk memenuhi pasokan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Perbedaan kemampuan dan sumber daya antara warga dengan hutul dalam mengakses pasokan air tanah menjadikan warga berada dalam kondisi yang dilemahkan. Kekeringan di Yogyakarta merupakan salah satu bentuk bencana ekologis yang terjadi. Kekeringan yang terjadi di Yogyakarta merupakan salah satu persoalan bencana ekologis yang terjadi akibat kesalahan pengelolaan tata kelola air.
Tata Ruang
WALHI Yogyakarta (2023) mencatat bahwa kesalahan dalam mengurus tata ruang tidak hanya terjadi di Yogyakarta kota, melainkan menyebar ke berbagai wilayah di Yogyakarta, seperti pembangunan perkotaan baru Aeropolis Kulon Progo. Berbagai mega proyek perkotaan telah meningkatkan kerentanan kawasan, karena mega proyek tersebut dibangun di wilayah rawan bencana seperti gempa dan tsunami. Pembangunan mega proyek tersebut berlawanan dengan kondisis krisis air di Kota Yogyakarta yang disebabkan oleh ekstraksi air tanah oleh industri pariwisata. Kekeringan yang terjadi di Yogyakarta, hingga terjadinya beberapa kekeringan akibat pembangunan yang tidak dikelola dengan benar juga menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim dapat terus meningkatkan frekuensi dan level kekeringan, banjir, gelombang panas dan badai (Mongabay, 2023).
RTH (Ruang Terbuka Hijau)
Ruang Terbuka Hijau merupakan faktor penting dalam setiap wilayah. RTH mempunyai berbagai manfaat dalam menyeimbangkan sistem ekologi. Data yang dihimpun dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta (DLHK DIY) menunjukkan bahwa dari tahun 2019-2023 mencatat bahwa di Yogyakarta total keseluruhan RTH adalah 5.891,26. Angka tersebut belum dapat memenuhi target dari seluruh total RTH yang ada yaitu sekitar 30% dari luas kota terdiri atas 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Angka 30% tersebut merupakan aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 tahun 2007 dengan membuat program Kota Hijau.
Pertambangan Konflik Wadas dan Jomboran
Persoalan krisis ekologis lainnya yang terjadi di Yogyakarta contohnya adalah konflik di Wadas dan Jomboran. Pertambangan di Wadas, akan berdampak pada perubahan ekosistem lingkungan di sekitarnya. Dampak tersebut dapat berbentuk hilangnya sumber mata air. Dampak yang paling dirasakan adalah hilangnya tempat tinggal warga dan lahan pertanian. Selain itu pertambangan batu andesit di Wadas akan mengakibatkan hilangnya flora bambu, pencemaran air, polusi udara dan suara. Terdapat 23 mata air yang mengering akibat pertambangan. Penyusutan debit air, menimbulkan air yang menjadi keruh. Konflik pertambangan lain yang terjadi adalah pertambangan yang terjadi di Jomboran. Jomboran merupakan wilayah yang dekat dengan Sungai Progo. Hari ini di Jomboran telah terjadi penambangan pasir dan batu. Bahan-bahan material seperti pasir mengakibatkan terkikisnya sungai Progo.
Keadilan Ekologi untuk Antar Generasi
Konsep keadilan ekologi muncul untuk merespon pandangan antroposen yang semakin merusak alam. Pola produksi kapitalistik membuat eksploitasi lingkungan besar-besaran demi akumulasi ekonomi dan akhirnya berdampak pada berkurangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan. Konsep keadilan ekologi merangkum beberapa prinsip yang berkaitan dengan Distributive Justice hingga Intergenerational Justice.
Intergenerational Justice menjelaskan bahwa generasi hari ini bertanggung jawab kepada generasi yang akan mendatang untuk mendapatkan bumi yang sehat dan layak guna melanjutkan kehiduapan Dalam mewujudkan cita-cita keadilan ekologi dan keadilan antar generasi diperlukan penyadaran pada berbagai lapisan masyarakat. Salah satunya adalah orang-orang muda. Orang muda mempunyai potensi yang besar dalam mewujudkan adanya keadilan ekologi antar generasi. Mengingat krisis ekologi yang terjadi hari ini akan mengakibatkan dampak yang semakin buruk. Maka diperlukan berbagai gerakan yang melibatkan orang muda untuk lebih sadar terhadap isu-isu lingkungan. Karena, kedepannya merekalah salah satu subyek yang akan mewujudkan adanya keadilan ekologi.
Yogyakarta memiliki potensi yang sangat besar terkait gerakan orang muda. Di kota ini tumbuh berbagai komintas orang muda yang merasa resah terhadap kondisi lingkungan hari ini. Namun hari ini perlu rasanya kekuatan besar itu disatukan menjadi ruang bersama untuk mempertebal gerakan dan apmlifikasi wacana keadilan ekologi.