Pameran “Menapaki Penjarahan Gunung Sewu”: Potret Kerusakan Ekosistem di Gunungkidul 

by | Feb 5, 2022 | Berita, Media | 0 comments

Kamis, 3 Februari 2022, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta mengadakan pameran foto dan diskusi. Pameran dengan tema “Menapaki Penjarahan Gunung Sewu” itu berlangsung di kantor WALHI Yogyakarta yang terletak di Kotagede, Yogyakarta. Pameran yang berlangsung hingga 10 Maret 2022 itu juga memamerkan foto-foto yang dihimpun oleh komunitas Resan Gunungkidul.

Bintang Hanggono, salah satu kontributor dalam pameran ini, menyampaikan bahwa pameran ini lahir dari perjalanan yang dilakukan oleh WALHI Yogyakarta menyusuri sejumlah wilayah di Gunungkidul sepanjang tahun 2021. Perjalanan itu merupakan upaya untuk memotret sejumlah persoalan sosial dan lingkungan yang dipicu oleh proyek-proyek pembangunan di daerah ini.

Merujuk pada tulisan yang merangkum penjelasan setiap foto yang dipamerkan, persoalan sosial dan lingkungan itu merupakan dampak dari hadirnya proyek Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) serta industri pariwisata di Gunungkidul.

Tulisan itu menyebut, proyek JJLS telah mengepras perbukitan karst, mengubur lahan-lahan pertanian, serta meratakan pemukiman warga yang berada dalam lintasan proyek ini. Sementara itu, proyek yang membelah bagian selatan provinsi Yogyakartaini dibangun untuk menopang industri pariwisata yang menjadi tampilan muka model pembangunan di provinsi ini.

Bintang melanjutkan, beberapa foto di antaranya telah diambil pada tahun 2014. Foto-foto pada tahun itu menampilkan kondisi pertanian di sekitar Pantai Watu Kodok, Tanjungsari, Gunungkidul, yang saat itu masih menggunakan model pertanian tradisional. Namun, tuturnya, lahan beserta pengetahuan yang mengiringi model pertanian tersebut telah hilang seiring dengan masuknya proyek JJLS.

Di samping itu, ia juga menyampaikan, industri pariwisata menjadi kutub lain yang menyumbang persoalan di daerah ini. Dua di antaranya ialah HeHa Ocean View di Kecamatan Panggang dan pembangunan restoran di Pantai Slili di Kecamatan Tepus. Bintang menuturkan, HeHa Ocean View merupakan destinasi wisata privat yang sedang ramai dikunjungi wisatawan, namun menjadikan laut sebagai tempat pembuangan limbahnya.

Sementara, di Pantai Slili, berdiri restoran yang luasnya memakan hampir sebagian besar wilayah pantai. Bangunan restoran itu juga diduga menutup resapan air sehingga memicu terjadinya banjir yang menenggelamkan sejumlah warung-warung milik warga di sekitar pantai.

Acara pembukaan pameran itu kemudian disusul dengan diskusi. Pemateri dalam diskusi ini di antaranya ialah, Bekti Wibowo (warga Gunungkidul), Nandra Eko Nugroho (pakar Manajemen Bencana Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta), Edi (Komunitas Resan Gunungkidul), serta Farid Stevy.

Bekti Wibowo yang akrab disapa Bowo ini menyebut dirinya sebagai “korban JJLS.” Ia menyampaikan, rumah yang ia tinggali masuk dalam wilayah JJLS. Karena proyek itu, ia mesti memindahkan rumahnya sekitar 50-an meter menjauh dari badan jalan.

“Saya bangun [rumah], ya, sekedarnya. Agak menjauh dari jalan, karena pasti bising kalau mepet jalan. Saya mundur sekitar 50-an meter, sehingga harus beli tanah lagi. Uang ganti rugi itu habis, karena untuk bangun dan beli tanah itu duitnya tidak cukup,” tuturnya.

Bowo melanjutkan, ia pernah melayangkan tiga tuntutan kepada pihak pemrakarsa proyek. Namun, ia menuturkan, tidak satupun tuntutannya itu dipenuhi. Pertama, tuntutan itu dalam bentuk meminta pihak pemrakarsa memberikan desain proyek JJLS. Hingga jalan dibangun, tuturnya, desain itu tidak kunjung ia terima.

Kedua, perubahan sepihak kepemilikan aset material bangunan yang dibongkar. Bowo menjelaskan, mulanya, pihak pemrakarsa menjanjikan puing-puing material bangunan yang dibongkar akan diberikan pada warga pemilik bangunanya. Namun, ketika proses pembongkaran telah dilakukan, muncul kesepakatan sepihak bahwa material bangunan itu diklaim sebagai milik negara.

Tuntutan ketiga yang dilayangkan Bowo ialah kepastian tidak akan ada pelebaran jalan. Akan tetapi, dalam prosesnya, proyek ini justru melakukan penambahan ukuran jalan yang kembali memicu pembongkaran lahan dan pemukiman warga.

Karena tidak dipenuhinya tuntutan itu, akhirnya, Bowo melayangkan protes dalam bentuk pemasangan spanduk dengan nada menolak pembongkaran lahan untuk pembangunan JJLS.

Bowo juga menceritakan dampak turunan yang ia alami ketika JJLS mulai beroperasi. Ia mesti beradaptasi dengan hilir mudik kendaraan yang melintasi jalan ini. “Kalau memotret kesehariannya, udah kesulitan saya mau nyebrang. Badan gemuk gini, mau nengak-nengok sudah susah karena ramai. Apalagi Sabtu [dan] Minggu,” tuturnya.  

Ramainya lalu lintas kendaraan serta tidak adanya lampu pengatur lalu lintas di persimpangan jalan dekat rumahnya, ungkap Bowo, seringkali memicu kecelakaan lalu lintas. “Sabtu [dan] Minggu pasti ada insiden di pertigaan tempat saya. Sudah pasti pasti ada tabrakan. Iya, wong jalan belum ada traffic light-nya. Orang luar enggak ngerti. Lewat cepat-cepatan,” tutur Bowo.

Persoalan di Gunungkidul juga hadir dalam bentuk keringnya sejumlah telaga. Edi menyampaikan, salah satu kekeringan itu terjadi di Telaga Suko yang terletak di Kecamatan Saptosari, Gunungkidul.

Edi menceritakan, “tahun 2009 itu datang pemborong dengan materialnya tanpa ada rembugan dengan desa dan warga. Telaga Suko itu dikeruk hampir 4 meter. Kerukannya dipinggirkan. Jadi, dari tepi telaga ke talud asli itu sekarang hampir 10 meter berkurang.”

Menurutnya, Telaga Suko menjadi satu dari ratusan telaga di Gunungkidul yang mengalami kekeringan yang, banyak di antaranya, dipicu oleh kasus serupa.

Persoalan-persoalan itulah yang memantik dirinya dan sejumlah orang untuk membentuk Komunitas Resan. “Keprihatinan tentang kondisi di Gunungkidul. Bergerak atas nama kesadaran,” tutur Edi.  

Sejak tahun 2015, Edi melanjutkan, komunitas ini telah melakukan pemulihan telaga dengan cara menanam beragam jenis pepohonan. “Kerjanya Sabtu-Minggu menanam. Jumlah pohon yang kita tanam, saya tidak mendata lagi untuk akhir-akhir ini. Tapi, satu tahun kemarin itu sekitar 12.300-an pohon yang sudah kita tanam,” tutur Edi.

Sementara itu, Nandra menyoroti prinsip-prinsip yang melandasi proyek-proyek pembangunan nasional. Menurutnya, program pembangunan itu mesti memperhatikan tiga aspek, yakni adil, lestari, dan berkembang.

Namun, proyek JJLS di Gunungkidul sebagai bagian dari program pembangunan nasional malah memicu rusaknya ekosistem karst. Karena itu, ia meragukan ketiga aspek pembangunan yang disebutkan di atas menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan pembangunan di beragam level wilayah. “Pertanyaan adalah ketika ada proyek-proyek strategis nasional atau proyek-proyek strategis di level kabupaten, provinsi, sampai nasional, apakah unsur adil, lestari, dan berkembang itu sebagai prioritas?” tutur Nandra.

Ia melanjutkan, ekosistem karst memiliki fungsi sebagai penyedia pasokan air baku bagi warga di sekitarnya. Rusaknya ekosistem karst akan memicu keringnya pasokan air bersih, banjir, serta keruhnya sumber air.

Sementara, menurut Nandra, bukit-bukit karst yang telah dikepras tidak dapat dipulihkan kembali. “Karst itu, sekali dipotong, enggak bisa tumbuh lagi,” tutur Nandra.

Nandra menilai, proyek-proyek yang memicu rusaknya ekosistem karst justru bertolak belakang dengan keterlibatan pemerintah Indonesia dalam The Paris Agreement (Persetujuan Paris) tahun 2015. Persetujuan Paris merupakan bentuk komitmen negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi karbon yang memicu terjadinya perubahan iklim. Padahal, menurut Nandra, “karst itu salah satu media yang bagus untuk menurunkan gas karbon.”

Farid, selaku penanggap pameran ini, menyambung pembicaraan Nandra. Ia menyampaikan, pameran ini menjadi penting sebagai medium untuk menyampaikan kepada publik tentang wajah Gunungkidul yang sebenarnya.

Pria kelahiran Gunungkidul ini juga menyampaikan, narasi yang dibawa dalam pameran ini mesti tersalurkan hingga ke warga lokal. Sebab, menurutnya, tidak semua warga di Gunungkidul mendapatkan akses untuk memperoleh informasi tentang persoalan yang saat ini sedang mereka hadapi.

Lebih lanjut, bagi Farid, generasi muda Gunungkidul perlu menjadi sasaran utama penyebaran informasi tentang persoalan-persoalan yang hadir di ruang hidup mereka. Tujuannya, agar mereka dapat terlibat dalam merespon persoalan itu di kemudian hari. “Kesiapan teman-teman muda untuk merespon yang terjadi di Gunungkidul se-dekade berikutnya menjadi sesuatu yang urgent,” pungkas Farid.


Bayu Maulana