Penutupan Pantai Sanglen: Antara Kesejahteraan Masyarakat Atau Kepentingan Pegembangan Bisnis Pariwisata Privat

Written by walhijogja

siaran pers

02September 2024

Bisnis pariwisata privat kini tengah menjangkit di Daerah Istimewa Yogyakarta dan tiap tahun semakin bertambah jumlahnya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari faktor ekspansi pariwisata modern. Pariwisata modern memiliki karakter yang identik dengan pembangunan fisik berskala besar, orientasi profit semata, eksploitatif (komersialisasi sumberdaya), dan merusak lingkungan maupun tatanan sosial-budaya lokal. Titik sentralnya pada perolehan ekonomi jangka pendek bagi kalangan pemodal. Wajah itu dapat dilihat ketika menengok perkembangan pembangunan bisnis pariwisata privat di Kabupaten Gunungkidul.

Baca Juga: Respon WALHI Yogyakarta atas Pengosongan Pantai Sanglen

Kabupaten Gunungkidul dalam temuan WALHI Yogyakarta telah ditemukan pengembangan bisnis pariwisata privat lebih dari 5 (lima) titik dan kemungkinan lebih banyak. Terbaru, terjadi penutupan lokasi pariwisata yakni, Pantai Sanglen. Penutupan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terkait dengan akan terjadinya konflik antara warga dengan pengembangan bisnis privat bernama Obelix serta warga dianggap tidak memiliki izin dalam melakukan aktivitasnya.

 

 

Secara aturan adanya Obelix telah bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan mengenai pertanahan pasal 32 ayat (5) diterangkan bahwa “Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-sebesarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat”. Artinya, sektor bisnis pariwisata privat tidak dapat berada di atas tanah tersebut. Justru produksi ekonomi yang dilakukan oleh warga termasuk kedalam kategori kesejahteraan masyarakat yang termaktub di dalam aturan tersebut. Inisiatif yang dilakukan oleh warga ini seharusnya didukung dan dikembang, bukan dibatasi dan dipersulit.

Pada Peraturan Gubernur DIY No. 33 Tahun 2017 juga telah menerangkan secara terang benderang bahwa pengelolaan tanah kasultanan dan tanah kadipaten hanya dapat diberikan izin ketika untuk pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Tafsiran mengenai kepentingan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang ada dalam aturan tersebut tidak sama sekali memuat bahwa model pariwisata semacam obelix dapat diberikan izin menggunakan tanah kasultanan dan kadipaten. Sehingga, adanya Obelix bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 dan Peraturan Gubernur DIY No. 33 Tahun 2017.

Oleh karena itu, penutupan Pantai Sanglen semakin menegaskan sebuah posisi bahwa tidak memiliki keberpihakan terhadap warga, tetapi kepada pemodal atau pengembang bisnis pariwisata privat. Ini menjadi bukti nyata bahwa model pariwisata privat telah meminggirkan masyarakat. Dengan demikian, WALHI Yogyakarta mendesak: 1) Kesultanan atau pemerintah segera membuka akses Pantai Sanglen untuk kepentingan kesejahteraan warga; 2) Melakukan pendampingan dan mempermudah masyarakat untuk dapat mengelola Pantai Sanglen; dan 3) Mendukung dan menguatkan pengelolaan pariwisata berbasis komunitas.

Desakan

  1. Kesultanan atau pemerintah segera membuka akses Pantai Sanglen untuk kepentingan kesejahteraan warga;
  2. Melakukan pendampingan dan mempermudah masyarakat untuk dapat mengelola Pantai Sanglen; dan
  3. Mendukung dan menguatkan pengelolaan pariwisata berbasis komunitas.

 

 

Narahubung:

(Dimas Perdana) +62 812-2674-3399

 

 

 

 

Related Articles

Related

Follow Us

Join

Subscribe For Updates 

Dapatkan update berita terbaru seputar analisis, siaran pers, serta beberapa hasil publikasi lainnya dari kami.

 

WALHI YOGYAKARTA
  • Beranda
  • analisis
  • tentang kami
Follow Us