Hari Anti Tambang 2025: Melawan Ekstraktivisme, Merawat Kehidupan, Menyatakan Perlawanan

by | May 29, 2025 | Siaran Pers | 0 comments

Tanggal 29 Mei 2025 diperingati sebagai Hari Anti-Tambang (HATAM). Kali ini, tajuk yang diangkat adalah “Melawan Ekstraktivisme, Merawat Kehidupan, Menyatukan Perlawanan”. Peringatan HATAM merujuk dari tragedi semburan lumpur lapindo pada tahun 2006. Situasi di lapindo merupakan sebuah timbunan derita yang menyisakan luka mendalam akibat dari industri ekstraktif pertambangan. Timbunan derita dari warga yang terdampak pertambangan juga telah dialami oleh warga di D.I. Yogyakarta.  

Hasil investigasi WALHI Yogyakarta pada tahun 2025 menunjukkan bahwa pertambangan menjadi salah satu penyebab dari terjadinya krisis lingkungan. Salah satu bentuk krisis lingkungan yang dirasakan oleh warga di sekitar wilayah pertambangan adalah kerusakan sumber mata air. Industri pertambangan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah terbukti merusak kuantitas dan kualitas air warga di berbagai daerah. Sejak erupsi Merapi pada tahun 2010, intensitas pertambangan semakin massif terjadi. Kendati pada tahun 2021 Gubernur DIY pernah mengeluarkan statement dengan menghendaki adanya pemulihan ekosistem Merapi akibat pertambangan. Faktanya Statement tersebut tidak diiringi dengan keseriusan pemerintah DIY. Terbukti dari lemahnya pengawasan dan penindakan yang mengakibatkan pertambangan masih masif terjadi di DIY.   

Lambat laun, industri pertambangan kemudian melakukan ekspansi ke daerah-daerah selain di daerah Merapi, tetapi menyebar hampir di seluruh kabupaten yang ada di DIY dan Jawa Tengah seperti Klaten dan Magelang.  Ekspansi industri pertambangan ini dapat terindikasikan dengan bertambahnya IUP secara signifikan dan sejalan dengan itu, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Merapi juga memilik konsesi di daerah lainnya yang berlindung dibalik kebutuhan pembangunan nasional. Hal ini membawa mimpi buruk bagi warga di daerah sekitar industri ekstraktif pertambangan.  

Mimpi buruk ini dapat dilihat dalam rusaknya kualitas dan kuantitas sumber-sumber mata air mereka yang digunakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. WALHI Yogyakarta sepanjang bulan Februari hingga Maret 2025 telah melakukan investigasi ke 27 titik yang tersebar di Kabupaten Bantul, Kulon Progo, Sleman, dan Gunungkidul.  Pertama, terletak di Kabupaten Bantul dengan total 6 titik diketahui bahwa seluruhnya mengalami penurunan air tanah dan warga harus mendalamkan sumurnya setiap tahun juga. Kedua, Kabupaten Kulon Progo dengan total 7 titik. Berangkat dari 7 titik tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat penurunan muka air tanah setiap tahunnya dan penurunan kualiats sumber mata air.  

Ketiga, Kabupaten Gunungkidul dengan sebaran 10 titik, dampak akibat pertambangan cenderung signifikan.  Ini karena ditemukan sumur warga dengan kedalaman 48 meter dan 50 meter. Setiap tahun warga di sana terus menerus mengalami penurunan air tanah ditambah adanya kekeringan jika musim kemarau panjang terjadi. Selain itu, terdapat pula warga yang mengandalkan PDAM, padahal mereka tidak menghendakinya. Warga tersebut terpaksa menggunakan PDAM sebab tidak ada pilihan lain jika ingin mendapatkan air tanpa bersusah payah. Terakhir, Kabupaten Sleman dengan sebaran 3 titik, terdapat sumur warga dengan kedalaman mencapai 13 – 15 meter. Kedalaman ini sudah dua kali dilakukan pendalaman agar mendapatkan kuantitas air yang cukup bagi seluruh warga yang menggunakan sumur tersebut.  

Kondisi-kondisi dilakukannya pendalam berulang kali dan penurunan kualitas air, seharusnya menjadi perhatian serius oleh pemerintah dari segala level, mengingat air adalah kebutuhan dasar manusia dan menjadi kesatuan ruang hidup warga. Hasil investigasi ini dapat dikatakan bawah dampak pertambangan telah mengakibatkan adanya penurunan air tanah setiap tahun dan merusak kualitas air warga serta menganggu keseimbangan ruang hidup. Oleh karena itu, WALHI Yogyakarta mendesak kepada pemerintah daerah untuk: 1) Melakukan evaluasi dampak lingkungan hidup di seluruh lokasi pertambangan di DIY; 2) Mendorong korporasi pelaku kerusakan lingkungan untuk melakukan pemulihan lingkungan; 3) Melakukan pengawasan serius pada korporasi yang melakukan pertambangan; 4) Mempersempit Wilayah Ijin Usaha Pertambangan di DIY 

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *