Kisah Kelam dari Gunung Sampah Piyungan

by | May 29, 2022 | Blog | 0 comments

Bau menyengat menembus hidung beberapa saat setelah melewati pos bertuliskan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Ngablak, Bantul, Yogyakarta. Jalanan berlubang yang di beberapa sisi tergenang air mengantarkan perjalanan kami menuju dermaga pembuangan sampah.

Gumpalan debu tebal disapu truk-truk pengangkut sampah dari arah berlawanan saling bergantian menerjang sekujur tubuh. Sementara, antrean truk menuju dermaga pembuangan mengular di hadapan kami. Dari kesemuanya itu, timbulan sampah setinggi kurang lebih 136 meter mendominasi lanskap kawasan tersebut.

Penampakan kawasan TPST Piyungan dari atas. (WALHI Yogyakarta)

Kesibukan di TPST Piyungan makin menampakan wajahnya ketika kami sampai di dermaga pembuangan. Lokasi itu dipadati sejumlah orang yang sedang memilah-milah sampah untuk mereka jual kembali. Di antara mereka, berdiri beberapa backho yang sibuk menarik dan meratakan sampah yang ditumpahkan oleh truk-truk pengangkut sampah. Tidak hanya manusia, ratusan sapi dan kambing yang menyebar di penjuru kawasan itu juga nampak sibuk mengorek-ngorek sampah.

Maryono, Ketua Paguyuban Mardiko TPST Piyungan, dengan fasihnya menyebut, “ada 446 pemulung, pengepul ada 15, sapinya ada 110, kambingnya ada 200.”

Hampir sebagian besar warga di sekitar kawasan TPST Piyungan menggantungkan hidup sebagai pemulung. Begitu pula Maryono. Ia mengaku telah beraktivitas sebagai pemulung sejak TPST Piyungan pertama kali beroperasi sekira tahun 1996.

TPST Piyungan menampung sampah dari tiga wilayah di Yogyakarta: Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Setiap harinya, sekira 630 ton sampah ditumpahkan ke TPST yang memiliki luas 12,5 ha tersebut.

Namun, menurut Maryono, tidak ada pengolahan sampah yang dilakukan di TPST ini. Baginya, istilah pengolahan yang tersemat dalam nama TPST ini hanya slogan belaka.

“Memang, dalam papan nama di kantor, “Tempat Pengolahan Sampah.” Teori! Prakteknya tidak ada pengolahan. Hanya sampah ditumpahkan, dicari pemulung, didorong rata. Begitu aja,” tuturnya.

Ada beragam persoalan yang hadir beriringan dengan buruknya model pengelolaan sampah di TPST tersebut. Kelebihan kapasitas (over-kapasitas) timbulan sampah menjadi persoalan yang terus mengiringi perjalanan TPST itu dalam satu dekade terakhir. Menurut Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (2020) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yogyakarta, misalnya, TPST Piyungan telah mengalami over-kapasitas sejak tahun 2012. Peristiwa over-kapasitas itu bertalian erat dengan model pengelolaan sampah di TPST Piyungan yang menerapkan skema open dumping atau sampah dibuang begitu saja.

Kesibukan aktivitas di kawasan TPST Piyungan. (WALHI Yogyakarta)

Tidak hanya berhenti di situ, lapisan persoalan lain juga mesti ditanggung warga selama bertahun-tahun. Setiap harinya, warga dikelilingi oleh bau busuk yang menguar dari timbulan sampah dan air lindi (cairan beracun yang dihasilkan dari endapan air dalam timbulan sampah). Bau busuk itu juga tidak hanya dirasakan oleh warga yang berada di dalam kawasan TPST. Maryono menyebut, “dalam radius 7 km bau menyengat gas methan masih terasakan.”

Yanti, warga Dusun Bendol, Sitimulyo, juga mengeluhkan bau busuk dari air lindi menerjang kawasan pemukimannya. Bau itu makin pekat ia rasakan apabila terjadi antrean truk hingga keluar kawasan TPST. Antrean truk itu meneteskan air lindi sehingga memenuhi badan jalan dan mengalir ke arah pemukiman.

Persoalan berikutnya hadir ketika hujan mengguyur kawasan TPST. Maryono menceritakan, pada pertengahan Desember 2021, terjadi banjir air lindi setinggi kurang lebih 30 cm di kawasan TPST Piyungan dan menerjang pemukiman di bawahnya. Bahkan, tuturnya, banjir itu juga memicu terjadinya longsoran kecil pada tebing bagian barat yang beririsan dengan ‘gunung sampah’ dan pemukiman.

“Lewat jalan, gak ada haluan untuk air, sehingga mengalir ke warga masyarakat. Masyarakat di bawah, karena dalam, tanah-tanah rentan, menjadikan tanah longsor,” tuturnya.

Lasim, seorang warga yang kesehariannya berjualan di kawasan TPST, menuturkan bahwa limpasan banjir air lindi itu juga menerjang rumahnya. Meskipun tidak ada korban jiwa, banyak perabotan rumah miliknya terendam oleh banjir.

“Mulai banjir jam 2 siang. Terus banjirnya, banjir bandang. Masuk rumah, airnya warna merah, butek,” terang Lasim.

Menurut Lasim, banjir air lindi itu sudah seringkali menerjang kawasan TPST Piyungan. Namun, ia mengungkapkan bahwa banjir yang menimpa warga pada pertengahan Desember 2021 itu terhitung lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Menurutnya, tingginya ketinggian banjir itu disinyalir karena penutupan saluran irigasi aliran lindi yang berada di puncak ‘gunung sampah’. Penutupan itu beriringan dengan pembangunan talud pada dinding ‘gunung sampah’ yang dimulai sekira lebih dari 2 tahun lalu.

“Dulu lewat atas dan langsung mengalir ke sana. Dan sekarang enggak. Karena ditutup itu air mengalir ke sini semua,” terang Lasim.

Ancaman kembali terjadinya bencana terus menghantui kehidupan warga. Karenanya, bila hujan lebat mengguyur kawasan TPST, warga secara bergantian memantau kondisi di sekitar kawasan tersebut.

Peristiwa banjir bukan hanya menenggelamkan pemukiman semata. Maryono menceritakan, banjir pada Desember 2021 itu juga menerjang sumur yang selama ini digunakan sejumlah warga untuk memenuhi pasokan air rumah tangga. Perasaan khawatir akan tercemarnya sumur menggelayut di benak sebagian besar warga.

“Padahal, itu satu-satunya sumber air untuk menyuplai di atas Piyungan,” tuturnya.

Di tengah kekhawatiran pencemaran air, sejumlah warga mesti beralih menggunakan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk memasok kebutuhan air rumah tangga. Tapi, beralihnya pasokan air tidak serta-merta menghentikan warga untuk kembali memanfaatkan air sumur. Hal itu dialami oleh Yanti. Bila pasokan air PDAM di rumahnya mati, ia terpaksa kembali memasok air sumur.

“Gak tau tercemar atau engga, udah gak mikir, Mas, kalo kepepet,” tuturnya.

Bukan tanpa upaya: persoalan-persoalan yang membekuk kehidupan warga itu, tutur Maryono, telah berkali-kali mereka laporkan kepada pemerintah Yogyakarta. Namun, hasil mengecewakan seringkali menghampiri sebanyak laporan yang mereka layangkan.

Misalnya, persoalan banjir air lindi yang telah beberapa kali warga alami. Menurut Maryono, pemerintah telah menjanjikan akan menanggulangi persoalan banjir air lindi sejak 2020. Namun, janji itu tak kunjung terealisasi hingga akhirnya banjir kembali menerjang pada Desember 2021.

“Katanya mau ditindaklanjuti tahun 2020, tapi sampai sekarang belum ada suatu tindakan. Katanya lagi ini mau ditindak awal 2022, mau dibangun talud air,” tuturnya.

Kekecewaan warga kepada pemerintah semakin menguat seiring dengan persoalan-persoalan yang tak henti-hentinya mereka hadapi. Kondisi itu membuat warga seringkali memilih untuk meluapkan protes melalui aksi demonstrasi dan blokade pintu masuk TPST Piyungan.

“Kalo nanti gak ada suatu respon dari pemerintah, tutup aja. Nanti sampahnya mau dibuang ke mana?” tuturnya.

Selain menyasar buruknya pengelolaan TPST, warga juga menyoroti rencana pemerintah Yogyakarta untuk melakukan perluasan/transisi kawasan TPST Piyungan. Perluasan kawasan itu menjadi satu di antara rencana pemerintah untuk menanggulangi over-kapasitas sampah di TPST.

Namun rencana pemerintah berbeda dengan pandangan warga. Bagi Maryono, ada perasaan trauma di benak warga bahwa perluasan kawasan, bukan justru menjadi solusi, melainkan memperluas persoalan di kemudian hari.

“Karena apa, nanti juga trauma dengan gundukan sampah yang seperti ini, dengan bau gas yang begitu menyengat, dengan air limbah lindi yang di mana-mana. Kita akan minum limbah? Gak mungkin kan, ya? Bahkan juga, untuk bernafas sekalipun tidak aman. Mangkanya menolak,” tuturnya.

Protes kembali dilayangkan

Timbulan sampah memadati depo-depo sampah di sejumlah wilayah di Yogyakarta seiring dengan aksi blokade pintu masuk TPST Piyungan pada Sabtu (7/5/2022). Menurut perkiraan DLH Yogyakarta, dilansir dari yogya.inews.id (12/5/22), hingga hari Kamis (12/5) akumulasi timbulan sampah di sejumlah titik di Kota Yogyakarta telah mencapai 1600 ton.

Aksi blokade itu dilakukan oleh warga dari Dusun Banyakan 1, Banyakan 2, Banyakan 3, dan Banaran. Warga tersebut terhimpun dalam aliansi Banyakan Melawan. Blokade jalan TPST kembali dibuka oleh warga pada hari Kamis (12/5). Selain melakukan blokade, warga juga menggelar aksi demonstrasi pada hari Sabtu (7/5) di depan portal yang mereka gunakan untuk memblokade jalan.

Persoalan menahun yang mesti ditanggung oleh warga memantik kembali aksi blokade pintu masuk TPST Piyungan. Aksi tersebut mengingatkan ungkapan Maryono beberapa waktu silam tentang absennya peran pemerintah dalam merespon persoalan di TPST Piyungan.

“Sudah beberapa kali ada aksi. Mana tanggapan dari pemerintah? Maka dari itu kita sudah tidak percaya kepada pemerintah,” tutur Herwin, warga Banyakan, dalam orasinya saat aksi demonstrasi.

Portal yang dibuat warga untuk memblokade pintu masuk kawasan TPST Piyungan. (WALHI Yogyakarta)

Dalam aksi itu, warga melayangkan penolakan terhadap rencana transisi kawasan TPST Piyungan dengan luas sekitar 5,8 ha, yang terletak di sisi barat kawasan TPST.

Herwin menuturkan, rencana transisi/perluasan kawasan TPST tidak melibatkan warga secara luas. Warga yang dilibatkan dalam pelaksanaan proyek itu hanyalah mereka yang lahannya dijadikan sebagai lokasi proyek.

“Yang disosialisasikan orang-orang yang punya tanah; tanahnya dibeli. Tapi, warga yang terdampak tidak pernah dilibatkan sama sekali,” tuturnya.

Padahal menurutnya, dampak yang dipicu oleh aktivitas TPST ini juga ditanggung oleh sebagian besar warga. Bau busuk, limpasan air lindi, pencemaran sumber air menjadi beberapa persoalan yang selama ini mereka hadapi. Bahkan, Herwin menuturkan, sekira 4 ha sawah milik warga mesti rusak karena limpasan air lindi.

Spanduk yang menunjukan dampak yang dialami warga sekitar. (WALHI Yogyakarta)

Cerita tentang over-kapasitas timbulan sampah di TPST Piyungan juga kembali menyeruak dalam aksi tersebut. Herwin menilai, over-kapasitas yang seringkali terjadi itu menandakan bahwa TPST tersebut sudah tidak mampu lagi menampung timbulan sampah.

“Surat edaran sudah jelas. Per-tanggal 21 Desember 2021, Surat Edaran nomor 188/41512 menyatakan bahwa TPST Piyungan sudah tidak bisa menampung sampah lagi dan tidak memungkinkan untuk dibuangi sampah lagi,” tuturnya.

Namun, surat edaran itu tak bergigi. Aktivitas pembuangan sampah ke TPST itu tetap saja dilakukan. Merujuk pada surat edaran itu, Herwin memandang, pembuangan sampah ke TPST Piyungan pada medio Maret-Mei (2022) merupakan aktivitas ilegal.

Selain menolak rencana transisi, dalam aksi tersebut warga juga menuntut pemerintah menutup secara permanen kawasan TPST Piyungan.

Apakah pemerintah ‘tidak serius’ mengatasi persoalan sampah?

Menurut Halik Sandera, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta, aksi blokade yang terus dilakukan oleh warga di sekitar TPST Piyungan mencerminkan ketidakseriusan pemerintah Yogyakarta dalam menanggulangi persoalan sampah.

“Piyungan tidak pernah dipulihkan secara serius. Tahun ini terjadi dua kali penutupan. Tapi tahun-tahun kemarin itu sering,” tutur Halik.

Timbulan sampah memadati depo sampah di Demangan, Gondokusuman, Yogyakarta City seiring dengan aksi blokade ke pintu masuk TPST Piyungan. (WALHI Yogyakarta)

Halik mencontohkan, konsep dan implementasi kinerja pengelolaan sampah di TPST Piyungan berjalan tidak seirama. Selama ini, TPST tersebut masih menerapkan sistem open dumping tanpa diiringi dengan penerapan 3R (reduce, reuse, dan recycle). Senada dengan pendapat warga, Halik menilai, model pengelolaan tersebut menjadi salah satu pemicu seringnya over-kapasitas timbulan sampah di TPST Piyungan.

Pada bagian lain, Halik menuturkan, perkembangan Yogyakarta sebagai kota pelajar dan pariwisata berpotensi meningkatkan daya konsumsi masyarakat. Hal itu juga diiringi dengan menjamurnya bisnis online yang mempermudah aktivitas konsumsi. Kondisi tersebut, bagi Halik, sangat berpotensi meningkatkan laju produksi sampah harian di Yogyakarta.

Peningkatan produksi sampah di Yogyakarta juga terjadi saat libur lebaran 2022. Produksi sampah di Kota Yogyakarta, dilansir dari repjogja.republika.co.id (9/5/22), meningkat sebesar 15 persen atau dari sebelumnya 360 ton per-hari menjadi lebih dari 400 ton per-hari seiring dengan gelombang kedatangan wisatawan dan pemudik.

Halik melanjutkan, kondisi di atas mestinya menjadi alarm bagi pemerintah Yogyakarta untuk lebih serius menangani persoalan sampah. Alih-alih dibebankan semata pada individu warga, pemerintah mesti mengambil tanggung jawab untuk memecahkan persoalan sampah tersebut.

Menurut Halik, upaya yang dapat dilakukan, pertama, menelurkan kebijakan pelarangan penggunaan sampah plastik sekali pakai. Kebijakan ini tidak hanya menyasar konsumen atau individu semata, melainkan juga perusahaan-perusahaan yang selama ini berperan dalam memproduksi sampah plastik sekali pakai.

Upaya lain ialah mengoptimalisasi bank sampah yang telah beroperasi di sejumlah wilayah di Yogyakarta. Kurangnya dukungan pemerintah, menurut Halik, memicu lemahnya peran bank sampah dalam mengurangi timbulan sampah yang dibuang ke TPST Piyungan. Padahal, menurutnya, Yogyakarta, khususnya Bantul, menjadi barometer bank sampah bagi daerah-daerah lain.

Perubahan pola pengolahan sampah di TPST Piyungan, lanjut Halik, menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan saat ini. Perubahan pola pengelolaan itu juga mesti diiring dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, bahkan hingga level rumah tangga.

Meskipun demikian, Halik juga menyoroti rencana pemerintah dalam mengatasi persoalan sampah di TPST Piyungan. Setidaknya ada dua rencana yang digelontorkan pemerintah: perluasan/transisi kawasan TPST dan penerapan teknologi ramah lingkungan. Menurut Halik, rencana tersebut perlu dibarengi dengan adanya transparansi informasi kepada warga sekitar TPST.

Misalnya, Halik mencontohkan, makna pemerintah dan warga tentang teknologi ramah lingkungan tentu saja berbeda. Transparansi menjadi penting untuk dilakukan guna meminimalisir hadirnya gap informasi di antara kedua pihak tersebut. Di samping itu, transparansi juga memungkinkan warga untuk mengawal secara bersama-sama proses pelaksanaan proyek, sehingga dapat meminimalisir hadirnya persoalan baru.

“Yang harus dipertanyakan ialah transparansi atas teknologi yang disebut ramah lingkungan agar publik bisa tahu dan mengawal bersama-sama,” pungkas Halik.

Lapisan persoalan sampah di TPST Piyungan laiaknya bom waktu yang dapat meledak setiap saat. Kisah kelam buruknya pengelolaan sampah terekam dalam tragedi ledakan sampah TPA Leuwigadjah, Kota Cimahi, Jawa Barat, pada 2005, yang menewaskan ratusan warga. Bukankah tragedi tersebut mesti menjadi pelajaran bagi pengelolaan sampah di berbagai daerah, begitu pula di Yogyakarta?


Bayu Maulana

Video liputan bisa disimak di akun YouTube Walhi Yogyakarta dengan judul, “[Banyakan Bergerak] Jogja Darurat Sampah”.