Lebih dari tujuh dasawarsa kisah perjuangan warga mengusahakan Pantai Sanglen ditulis. Ini adalah kisah panjang yang dimulai dari generasi ke generasi, sejak masa pasca kemerdekaan Indonesia. Sekitar tahun 1950-an upaya warga dimulai. Salah seorang warga melakukan babad alas — sebuah tindakan membuka dan mengolah tanah yang kala itu masih berupa alas. Dari langkah kecil ini, dimulailah babak awal pengelolaan dan pemanfaatan tanah Pantai Sanglen oleh rakyat dimulai.
Kemudian, tahun 1984 menjadi titik krusial dalam sejarah sistem agraria di Yogyakarta. Melalui Kepmendagri 66/1984 dan Perda DIY No. 3/1984 tentang pemberlakuan sepenuhnya UUPA di DIY, semua sistem pengaturan agraria lokal dihapuskan. Tanah-tanah swapraja dinyatakan menjadi milik negara. Artinya, Panitikismo sebagai panitia pengelola tanah Kraton, kehilangan dasar hukum untuk bertindak. Di tengah perubahan sistem hukum ini, pada tahun 1987-an, warga merampungkan babad alas mereka dan mulai menggarap lahan sebagai petani tanaman palawija.
Tidak berhenti di sana, tahun 1990 aktivitas pertanian warga terus diupayakan dari generasi ke generasi. Sekelumit bukti ini cukup untuk menggambarkan upaya dan usaha warga dalam mengelola dan memanfaatkan lahan di Pantai Sanglen. Trajektori pengelolaan dan pemanfaatan lahan Pantai Sanglen oleh warga menjadi dalil yang sah untuk melegitimasi hak warga atas lahan di Pantai Sanglen.
Tahun 2013 menjadi episode baru upaya Kraton mengembalikan legetimasinya atas tanah-tanah di Yogyakarta. Pemerintah pusat menerbitkan UU No. 12 Tahun 2013 yang mengatur urusan keistimewaan Provinsi Yogyakarta, salah satunya urusan agraria di Yogyakarta. Regulasi ini menjadi alat klaim atas tanah di Provinsi Yogyakarta melalui Sultan Ground. Imbasnya hari ini warga Pantai Sanglen harus terseingkir dari ruang hidup yang diupayakan puluhan tahun dengan darah dan peluh mereka. Padahal, tidak sekalipun Kraton pernah mengusahakan dan mengelola tanah di Pantai Sanglen.
Perlu diingat dari masa ke masa warga berjuang beradaptasi ditengah himpitan ketidakpastian hasil pertanian mereka dan proses pemiskinan struktural yang terus belanjut. Tahun 2016 warga tak mau berdiam diri ditengah kondisi tersebut. Invansi industri pariwisata yang mulai tumbuh di pantai selatan Gunung Kidul membawa mereka melakukan penyesuaian. Secara perlahan mereka berjibaku membuat destinasi pariwisata berbasis warga di Pantai Sanglen. Saat warga sedikit bisa merasakan manfaat dari upayanya, tahun 2022 dan 2024 penghidupan mereka kembali terancam. Investor besar bersama dengan Kraton berencana menggusur warga Pantai Sanglen untuk kepentingan pemodal yang lebih besar.
Warga mau bagaimanpun tetap paling berhak atas Pantai Sanglen karena mereka sudah berpuluh-puluh tahun mengusahakan pantai tersebut. Seolah-olah hanya melalui UU No. 12/2013 Kraton dapat sewenang-wenang mencaplok tanah-tanah yang sudah diusahakan warga. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh Kraton sangat ahistoris, dengan telanjang menunjukan arogansi dan kesewenang-wenangan dan tidak luput pula secara tegas memiliki sikap keberpihakan terhadap modal dari investor.
Tanah Untuk Rakyat!
0 Comments