Jalan terjal menuju Desa Keningar di Kabupaten Magelang rusak parah, lobang besar bertebaran di jalan yang sempit itu. Alih-alih menikmati perjalanan, supir dan penumpang harus sama-sama siaga menyimak jalan yang “dikuasai” truk-truk pasir itu. Perut juga harus siap terguncang saat mobil melintas di “kubangan kerbau” itu.
Rusaknya jalan menuju Desa Keningar di kaki Gunung Merapi itu diduga akibat dilalui truk-truk yang mengangkut pasir secara berlebihan. Padahal jalan ini merupakan satu-satunya jalur evakuasi warga jika harus secepatnya meninggalkan tempat tinggalnya manakala Gunung Merapi erupsi.
Keningar hanya berjarak sekitar 5,8 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Ini adalah desa terakhir, letaknya paling tinggi dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III.
Karena letaknya yang dekat dengan Gunung Merapi yang masih aktif, Keningar mendapat berkah pasir dan batu hasil setiap kali gunung itu erupsi. Pasir dan batu itu ditambang dan diangkut dengan truk menuju berbagai daerah.
Sayangnya, aktivitas pertambangan ini dilakukan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Lubang-lubang bekas tambang menganga seperti luka di lahan-lahan pertanian dan mematikan sumber mata air. Bahkan aktivitas penambangan juga masuk TNGM, wilayah konservasi yang harus dijaga keutuhannya.
Menurut penuturan warga, awalnya aktivitas penambangan di Keningar dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan alat berat. Seiring berjalannya waktu, alat-alat berat (eskavator) yang tentu bukan milik warga, mulai digunakan. Penambangan menjadi sangat intensif sehingga “memakan” lahan-lahan pertanian milik warga.
Focus group discussion (FGD) Warga di Kantor Desa Keningar, 16 Mei 2019, mengungkapkan aktivitas pertama penambangan pasir dilakukan PT PSP tahun 1996. Kemudian dilanjutkan CV Senthong (1999), CV Mitra Karya Bakti yang melakukan penambangan di wilayah Perhutani (2000). Selanjutnya CV Galih Jaya, CV Munthu, CV Mugi Lancar, dan yang paling besar, PT Hafa (CV Mitra Karya) pada tahun 2005-2008. CV Hafa terus menambang sampai tahun 2010.
Sumadi, warga Keningar yang juga Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD), menuturkan aktivitas pertambangan menimbulkan beragam persoalan di desanya.
“Banyak kejadian yang sudah kita alami, baik kerusakan lingkungan, hilangnya sumber mata air, dan dampak sosial pada masyarakat,” ujarnya.
Pertambangan juga menyasar lahan pertanian milik warga. Padahal sebagian besar warga Keningar menggantungkan hidup dari hasil pertanian seperti padi, palawija, aren, kopi, serta kayu keras (albasia, salam, puspa, serta pinus). Jika pasir habis, warga tidak bisa lagi bercocok tanam karena lahan sudah rusak.
“Kita enggak tahu berapa tahun yang akan datang, warga Keningar ini akan menjadi apa,” tuturnya.
Sedangkan Giyono berkisah tentang rusaknya sumber-sumber air yang digunakan warga untuk mengairi lahan pertanian dan memenuhi keperluan rumah tangga. Warga Keningar menggunakan tiga sumber air, yakni mata air Sontir, Senowo, dan Cacaban.
Sumber-sumber air yang sebelumnya mampu memenuhi 5 toren, menyusut jadi 1 toren. Warga mengatasi persoalan ini dengan membangun instalasi pipa, meteran air, dan stop kran yang didukung oleh program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas).
Bila musim kemarau tiba, warga merasakan kelangkaan air. Sumadi bercerita, ketika musim kemarau, warga terpaksa menerapkan skema pasokan air secara bergilir yang ditentukan secara bersama.
“Jadi di sini ada tiga jalur. Misalnya, jalur pertama itu minggu pertama, jalur kedua pada minggu kedua, dan minggu ketiga bagi jalur terakhir,” tutur Sumadi.
Skema gilir itu seringkali memicu pertengkaran antar warga. Sebab, ada warga yang menyerobot jatah pasokan air sebelum jadwal yang telah ditentukan.
Aktivitas pertambangan juga membelah warga desa menjadi kelompok yang mendukung dan menolak. Konflik ini sudah berlangsung belasan tahun, sejak pertama kali perusahaan tambang masuk ke desa ini. Dampaknya nilai sosial-budaya kehidupan warga yang semula guyub rukun menjadi tergerus.
Dampak aktivitas tambang yang makin buruk mendorong warga melayangkan protes. Pada 28 Desember 2004, warga melakukan pertemuan di Balai Desa Keningar yang menelurkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 3 Tahun 2004, isinya melarang semua bentuk pertambangan bahan Galian C di wilayah Keningar, khususnya di lahan-lahan pertanian warga yang menjadi sumber penghidupan warga dan daerah resapan air.
Tetapi Perdes ini ternyata tidak “bergigi”. Aktivitas pertambangan masih berlangsung di lahan-lahan pertanian milik warga.
Menurut warga, pemerintahan desa (Pemdes) beserta pemerintah daerah (Pemda) justru bersifat terbuka terhadap para pelaku usaha tambang di Keningar. Akibatnya setiap tahun aktivitas pertambangan makin meningkat di Keningar.
Terbitnya Peraturan Bupati Nomor 1 tahun 2011 tentang kebijakan normalisasi sungai diimplementasikan dalam bentuk pembukaan pertambangan rakyat selama 3 bulan. Peraturan yang terbit setelah erupsi besar Gunung Merapi tahun 2010 ini adalah “durian runtuh” bagi para pelaku usaha tambang galian C. Aktivitas pertambangan di lereng Gunung Merapi meningkat pesat, termasuk di Desa Keningar, bahkan muncul banyak pertambangan liar.
Giyono menyebutkan peraturan bupati itu memicu rusaknya sungai karena aktivitas pertambangannya tidak terkendali. Hal ini menyebabkan sungai makin lebar sehingga meningkatkan potensi kerentanan bencana bagi warga sekitar apabila Gunung Merapi erupsi kembali.
Peningkatan aktivitas pertambangan diikuti dengan meningkatnya jumlah truk pengangkut pasir yang hilir-mudik melintasi jalan desa. Akibatnya jalan desa rusak, lubang-lubang besar sedalam mata kaki orang dewasa bertebaran di sepanjang jalan itu.
Masifnya aktivitas pertambangan ini kembali memicu protes warga. Pada 23 September 2012, mereka melakukan pemortalan jalan masuk desa karena aktivitas pertambangan beroperasi 24 jam nonstop yang mengganggu ketenangan desa pada waktu malam.
Sejak peristiwa itu, warga terus merapatkan barisan. Dalam FGD warga bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta, Mei 2019, warga menyadari perlunya melibatkan banyak pihak untuk menghentikan rakusnya pertambangan. Sebab, warga harus menghadapi perusahaan tambang dan pemerintah yang berada di balik aktivitas tambang.
Perjuangan yang mereka lakukan sering harus berjalan dengan senyap demi menjaga keselamatan personal dan nafas perjuangan yang mereka bangun. Salah satu caranya melalui pengajian mingguan.
Cerita di atas menggambarkan bagaimana pertambangan galian C memicu rusaknya ruang hidup warga Desa Keningar. Pertambangan menyebabkan lahan pertanian yang menjadi penopang hidup warga menjadi berkurang dan krisis air bersih.
Aktivitas pertambangan dilakukan dengan berbagai motif, seperti normalisasi sungai, pemeliharaan sungai, penataan dan pemulihan lahan pascaerupsi, dan lain-lain. Berbagai dalih ini tidak menutup kenyataan adanya pengerukan material dan penyerobotan lahan warga.
Sejak awal, pelaku pertambangan di Desa Keningar belum pernah melakukan pemulihan lahan bekas tambang. Menurut Sumadi, mereka hanya mengeruk sumber daya di Keningar lalu pergi begitu saja. Padahal, mereka seharusnya bertanggung jawab melakukan reklamasi di lahan-lahan yang dikeruk.
Pernyataan Sumadi selaras dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomer 18 tahun 2008 (Permen ESDM 18/2008) tentang reklamasi dan penutupan tambang. Perusahaan yang mengantongi izin penambangan wajib melakukan reklamasi untuk mempemperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu karena usaha pertambangan dengan menyediakan dana Jaminan Reklamasi (Jamrek).
Sumadi menceritakan tahun 2008, salah satu perusahaan penambangan, PT Hava pernah melakukan aktivitas penataan lahan. Namun hanya sebatas perataan yang dilakukan pada malam hari setelah aktivitas menambang usai pada siang hari. Perataan ini belum bisa dikatakan sebagai reklamasi.
“Kita kawal setiap malamnya. Tetapi tidak berjalan lama kok itu. Katanya, alasannya [mereka] itu minus [biaya] lah, dan banyak alasan lain. Akhirnya kita tolak lagi,” tutur Sumadi.
Sumadi menjelaskan, perusahaan melakukan penataan lahan bekas tambang semata-mata untuk menarik hati warga agar mendapat izin penambangan di Desa Keningar. Sebab, mulanya warga menolak kehadiran mereka. Meskipun sempat menambang dengan syarat memulihkan lahan bekas tambang, akhirnya warga mengusir perusahaan tersebut.
Sejak 1996 hingga saat ini, tidak ada perusahaan tambang yang melakukan reklamasi lahan pascapenambangan di Desa Keningar. Selain itu ada pula penambangan ilegal karena tidak mengantongi izin.
Berdasarkan laporan warga, WALHI Yogyakarta mencatat sampai saat ini setidaknya ada 16 letusan konflik pertambangan di Yogyakarta dan sekitarnya. Empat belas diantaranya merupakan penambangan baru dan lama yang diperbaharui izinnya dalam kurun waktu 2019-2021.
Banyaknya aktivitas penambangan dan rendahnya praktik reklamasi tentu memperluas potensi kerusakan lingkungan. Krisis ekologis semacam ini menghilangkan hak-hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, utamanya warga di daerah pertambangan. Ini adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Viky Arthiando