Beberapa tahun terakir, khususnya di Gunungkidul, Yogyakarta, sedang santer pembangunan infrastruktur, mulai dari pariwisata, hotel, resort, dan yang tak luput adalah penunjangnya yaitu jalan raya. Yang menarik dan sekelebat menjadi daya tarik atas mulus dan hitamnya aspal di antara batuan karst adalah Jalur Jalan Lintas Selatan alias JJLS.
JJLS dibangun atas mandat pemerintah dan menjadi bagian dari PSN (Proyek Strategis Nasional). Mungkin, sebagian orang merespon dengan bahagia datangnya proyek tersebut. Respon itu lekat dengan peran “penggede” (red: pemerintah) yang terkesan membingkai pembuatan jalan sebagai proyek andalan dalam program pembangunan yang seolah-seolah mampu membawa ke arah hadirnya kesejahteraan.
Itu terlihat dan tergambar dengan jelas melalui ekspresi sejumlah orang dalam sosial media yang berlomba-lomba memamerkan foto dan video berlatar JJLS sebagai koleksi pribadi atau menjadi bumbu untuk meramu nuansa romantisasi wisata.
Memang, di provinsi Yogyakarta, proyek JJLS sulit untuk dilepaskan dari industri pariwisata yang menjadi bingkai pembangunan di provinsi. Bentang proyek JJLS di provinsi ini membelah sejumlah kabupaten, dari Kulonprogo, Bantul, hingga Gunungkidul dengan panjang 116 kilometer.
Dari rancangan peta JJLS itu, akan mudah untuk memahami bahwa proyek pembangunan jalan itu diproyeksikan untuk mempermudah akses para wisatawan ke sejumlah destinasi wisata yang tersedia di wilayah pesisir selatan Yogyakarta. Namun, kemegahan proyek JJLS untuk menopang gemerlap pariwisata itu memantik hadirnya persoalan.
Pembangunan JJLS tentu memperlebar kerusakan lingkungan khususnya terhadap bukit karst yang membentang beririsan dengan JJLS. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah menerbitkan buku penelitian tentang karst di sepanjang pulau Jawa berjudul, Sejarah Alam Gunung Sewu (2018).
Dalam buku tersebut, terurai betapa pentingnya keberadaan karst dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Bukit karst juga memiliki berbagai macam luweng yang perannya sangat penting, misalnya, sebagai drainase dan tabungan air alami ketika hujan (bukit karst memiliki peran sebagai kawasan resapan air) dan kemarau datang. Perlu diingat, di bawah bukit karst terdapat sungai bawah tanah yang berperan sebagai sumber mata air.
Selain memapras bukit-bukit karst, pembangunan proyek JJLS juga menimbun luweng yang berada tepat di atas titik koordinat proyek itu. Penimbunan luweng berpotensi memicu penyumbatan saluran air bawah tanah sehingga berakibat pada tekanan atau kehilangan flow lubang drainase karena tertutup dan bisa fatal.
Pengeringan aliran sungai bawah tanah atau banjir karena semakin hilangnya resapan air hujan berpotensi akan hadir seiring dengan rusaknya ekosistem karst.
Hal mendasar lain yang luput ialah utilitas penyeberangan jalan yang tidak nampak di JJLS. Padahal, di kanan kiri JJLS adalah alas (kebun) yang setiap harinya dikunjungi warga sekitar untuk menjalankan aktivitas pertanian.Tidak jarang, bentang jalan JJLS juga membelah kawasan pemukiman dan pertanian warga.
Aktivitas petani menyebrang JJLS sama sekali tidak mendapat jaminan keselamatan ketika menyeberang sembari menggendong pakan ternak atau hasil pertanian. Tentu, ini sangat membahayakan karena, dengan jalan yang mulus dan lurus, tidak sedikit mobil, motor, atau bus-bus pariwisata melaju dengan kecepatan tinggi. Ancaman terjadi kecelakaan lalu lintas membayangi kehidupan warga sekitar.
Beberapa hal di atas hanya sedikit dari sejumlah permasalahan yang nampak ke permukaan. Bisa jadi, di kemudian hari permasalahan akan hadir lebih kompleks, mulai dari tambang karst, perubahan fungsi ruang, dan lain-lain.
Berangkat dari persoalan di atas, program pembangunan mestinya memperhatikan secara seksama dampaknya terhadap aspek lingkungan dan sosial sekaligus menyediakan ruang dialog yang melibat warga secara penuh dalam proses pembangunan.
Wijatmoko (Pemuda lemah abang (tanah merah) yang lahir dan tinggal di Gunungkidul)
***
Foto ilustrasi: Bintang Hanggono