Sumber Mata Air Rusak, Warga Desa Srumbung, Magelang, Alami Kelangkaan Air Bersih 

by | Feb 1, 2022 | Berita, Media | 0 comments

Kelangkaan air bersih melanda Dusun Tempuran dan Nganggrung, Desa Srumbung, Magelang, Jawa Tengah. Persoalan yang dialami oleh dua dusun yang terletak di lereng Gunung Merapi itu telah berlangsung kurang lebih sejak enam bulan yang lalu. Kelangkaan air bersih itu dalam rupa kering dan tercemarnya sumber-sumber mata air yang selama ini dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga dan mengairi lahan-lahan pertanian.

Menurut Siji (nama disamarkan), warga Dusun Tempuran, persoalan tersebut merupakan kali pertama dialami oleh warga di desanya. Padahal, Desa Srumbung menjadi salah satu pemasok air bersih ke Kecamatan Borobudur, Magelang, ketika wilayah itu mengalami kekeringan air bersih pada Agustus tahun 2020 silam.

Sejak enam bulan terakhir, banyak debit air di sumur-sumur air tanah warga mengalami kekeringan. Loro (nama disamarkan), warga Dusun Tempuran, menjelaskan bahwa, “sumur di sini dulu-dulunya paling 8 sampai 10 meter itu sudah keluar air. Bahkan disedot bagaimanapun tidak akan kering. Sekarang dua kali lipatnya bahkan tidak keluar air. Terakhir ada yang mencoba sumur bor, itu sudah 20 meter baru keluar airnya”, jelasnya.

Penampakan keringnya salah satu sumur air tanah milik warga. (Dokumentasi warga Dusun Tempuran)

Menurut Loro, banyak warga menduga bahwa kasus rusaknya sumber-sumber mata air tidak lepas dari aktivitas pertambangan galian C (pasir dan batuan) yang tersebar baik di penjuru Desa Srumbung, maupun di desa-desa sekitarnya. Ia juga menyebutkan bahwa terdapat salah satu pertambangan yang berada persis di bawah sumber mata air warga.

Di samping itu, pertambangan juga telah mengeruk badan sungai hingga kedalaman 20 meter. Hal itu memicu aliran air sungai tidak dapat terserap masuk ke saluran-saluran air milik warga. “Ini kan irigasi ada sumber milik warga, di bawah irigasi itu digali dua puluh meter, akhirnya kan sumber ini debitnya menurun”, kata Siji.

Meskipun saat ini aktivitas pertambangan telah berhenti beroperasi, namun dampak dari aktivitas tersebut terus dirasakan oleh warga hingga hari ini. “Air yang ada di perumahan-perumahan warga itu tersedot ke penambangan. Penambangan lebih dalam daripada dari sumur”, kata Loro.

Selain itu, aktivitas pertambangan juga memicu keruhnya air (berwarna kecoklatan) yang selama ini telah memasok kebutuhan air rumah tangga. Selain keruh, warga juga mengeluhkan air tersebut mengeluarkan bau solar dan bercampur oli. “Airnya juga bau solar. Ada olinya juga, kadang”, kata Telu (nama disamarkan), warga Dusun Tempuran.

Air keruh mengalir dari pipa kamar mandi milik salah seorang warga. (Dokumentasi warga Dusun Tempuran)

Tercemarnya air itu, jelas Telu, juga dipicu oleh sistem operasi tambang, di mana pasir-pasir yang telah dikeruk kemudian dicuci dengan menggunakan aliran air sungai untuk memisahkan lumpur-lumpur yang sebelumnya menempel di butiran pasir tersebut. Namun, lumpur-lumpur dari proses pencucian itu dibiarkan mengalir ke sungai, sehingga menyebabkan keruhnya aliran sungai. Sementara, aliran sungai menjadi salah satu sumber air yang telah lama dimanfaatkan oleh warga. “Pertambangannya, kalo sekarang, diruntuhin pakai backhoe, terus di bawahnya ada air mengalir. Lah terus pasir itu dicuci di situ,” jelas Telu.

Tidak hanya berhenti di situ, sejak satu minggu yang lalu, air keruh tidak lagi mengalir karena debit airnya mati. Sebelumnya, warga masih memanfaatkan air keruh itu untuk mengairi kolam-kolam ikan milik mereka.

Di tengah kesulitan memperoleh air bersih, warga di dua dusun itu membangun inisiatif dengan skema menjemput air bersih dari Desa Kamongan, Magelang, yang berjarak sekitar 500 kilometer dari Dusun Tempuran. Warga menyebut aktivitas itu sebagai dropping air. Aktivitas dropping itu dilakukan secara bergiliran oleh warga sesuai jadwal yang telah mereka susun bersama. Air bersih yang telah dijemput itu ditampung di toren air terpadu, kemudian dialirkan melalui pipa-pipa ke setiap rumah warga. 

Aktivitas dropping air untuk memasok kebutuhan air bersih. (Dokumentasi warga Dusun Tempuran)

Loro menjelaskan, air bersih yang dibutuhkan untuk mencukupi dua dusun itu ialah 50 ribu liter per-dua hari untuk mencukupi 78 Kepala Keluarga (KK), dimana 30 KK di antaranya berasal di Dusun Tempuran dan 48 KK lain berasal dari Dusun Nganggrung. Namun, skema dropping itu hanya berlangsung hingga tanggal 5 Maret 2022. 

Saat ini, warga dihantui kekhawatiran tentang kapan mereka dapat keluar dari persoalan tersebut. Papat (nama disamarkan) menuturkan, pasokan air bersih dengan skema dropping itu kemungkinan hanya akan tersedia hingga awal bulan Maret tahun ini. Untuk bulan-bulan berikutnya, belum ada jaminan mereka akan mendapatkan pasokan air bersih kembali.

Persoalan itu juga sudah mereka laporkan ke pemerintah terkait. Mulanya, mereka menghubungi Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Kemudian, Loro menjelaskan, warga diminta untuk melemparkan laporan tersebut kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang. Setelah laporan itu mereka sampaikan ke Pemkab, Bupati Magelang meminta mereka untuk melaporkan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Magelang. “Saya SMS Gubernur, SMS Ganjar. Sama Ganjar direkomendasikan ke Kabupaten. Dari Bupati ke DLH. DLH yang ke sini. Dilempar-lempar gitu”, jelas Loro.

Atas laporan yang dilayangkan oleh warga, pihak DLH Magelang bersama Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Magelang kemudian datang dan bertemu dengan warga. Dari pertemuan itu, DPU Kota Magelang menawarkan tiga opsi guna mengurai persoalan kelangkaan air di dua dusun ini: 1) mencari sumber mata air baru; 2) program filtrasi air keruh; 3) melakukan pengeboran.

Sejumlah pertimbangan muncul dari warga. Menurut Siji, opsi pertama sulit untuk direalisasikan sebab anggaran yang besar dan lokasi mata air yang akan dipilih berada di desa lain sehingga rentan memicu konflik dengan warga di sana. Untuk opsi kedua, mesin filtrasi baru akan diturunkan ke warga pada bulan Oktober 2022.

Sementara opsi ketiga, untuk kembali memperoleh air, pengeboran harus dilakukan sedalam kurang lebih 20 meter. Dengan kedalam dan intensitas ekstraksi air tanah untuk menyuplai jumlah KK di dua dusun itu, warga khawatirkan berkurangnya debit air di desa tetangga, sehingga memicu hadirnya konflik perebutan air. 

Siji melanjutkan, dari tiga opsi yang ditawarkan, warga lebih condong memilih opsi kedua. Namun, warga merasa keberatan menunggu realisasi program filtrasi sampai bulan Oktober. Sebab, ketersediaan air bersih dengan skema dropping hanya berlangsung hingga awal bulan Maret. Warga belum menemukan solusi untuk memperoleh pasokan air bersih di sela-sela menanti realisasi program filtrasi yang akan dilakukan oleh DPU Kota Magelang.

Loro menuturkan, alasan DPU Kota Magelang merealisasikan program filtrasi itu pada bulan Oktober ialah karena menunggu perubahan anggaran tahunan lembaga ini. Di samping itu, pihak DPU Kota Magelang hanya akan memberikan mesin filtrasi. Sedangkan, bahan-bahan operasional sekaligus perawatan mesin itu ditanggungkan kepada warga. “Pihak DPU bisa menjanjikan untuk bulan Oktober itu filtrasi. Cuma menjanjikan alatnya aja. Kalo untuk bahan-bahanya nanti ditanggungkan ke masyarakat”, kata Siji.

Selain melayangkan permintaan ke pihak DPU Kota Magelang, warga juga meminta pihak DLH Magelang untuk melakukan rehabilitasi di lahan-lahan yang sudah ditinggalkan oleh penambang sehingga dapat memulihkan ekosistem yang ada di sana. Menurut Loro, pemulihan vegetasi itu, meskipun tidak dapat kualitasnya tidak dapat kembali seperti semula, dapat menjadi filter hidrologi alami sehingga air bersih dapat kembali diperoleh. Namun, Loro menyebut, hingga saat ini, permintaan rehabilitasi pasca tambang belum mendapat kesepakatan dari pihak DLH Magelang.

Loro menegaskan, harapan warga untuk waktu dekat ini ialah realisasi mesin filtrasi dapat dipercepat, tidak harus menunggu sampai bulan Oktober. Ia melanjutkan, skema dropping dalam kurun waktu yang lama akan membuat warga merasa kelelahan. Apalagi ketika musim kemarau tiba. Potensi makin berkurangnya debit air akan semakin tinggi. Ini di musim hujan aja kedua dusun sudah kesulitan air bersih. Bagaimana kalo memasuki bulan kemarau? Di sini sudah tidak ada air, bisa makin kekeringan”, kata Loro. 


Bayu Maulana